Kematian TKI Di Malaysia Harus Jadi Momen Pembenahan Regulasi Pekerja Migran

Almarhum Adelina Lisao di Penang, Malaysia (foto:CTV News)
Almarhum Adelina Lisao di Penang, Malaysia (foto:CTV News)

Buruh.co, JAKARTA – Satu pekerja migran Indonesia kembali meregang nyawa usai mengalami tindak kekerasan oleh majikan yang mempekerjakannya. Adelina Sau, yang sebelumnya diberitakan bernama Adelina Lisao, meninggal dunia di Malaysia usai diselamatkan tetangga, wartawan dan seorang anggota parlemen Malaysia dari rumah majikannya. Pemerintah harus mengevaluasi regulasi pengiriman pekerja migran.

Adelina disebut sebagai pekerja migran ilegal yang berhasil masuk ke Malaysia. Hal ini dibuktikan dengan tidak tercatatnya nama Adelina pada Balai Pelayanan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang sebagai Tenaga Kerja Indonesia yang sah. Adelina pun disebut tidak pernah melapor ke Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) yang ada di Malaysia.

Bacaan Lainnya

“Kami mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi pengiriman pekerja migran. Regulasi dan persyaratan yang sudah ada seringkali memberatkan mereka. Akhirnya mereka memilih untuk menggunakan cara ilegal. Dengan iming-iming penghasilan besar yang akan didapat, mereka akhirnya tergiur dengan jalan ini. Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang kebijakannya,” tegas peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy.

Imelda juga memandang perlunya penyederhanan proses pendaftaran, termasuk di dalamnya mengenai durasi waktu dan besaran biaya. Untuk mendaftar sebagai asisten rumah tangga, seorang calon pekerja migran harus menyiapkan uang sebesar Rp 8 juta atau USD 600 dan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat bulan. Biaya sebesar ini setara dengan2/3 upah minimum tahunan di banyak kota di Pulau Jawa.

Hal ini tentu saja menciptakan beban finansial bagi para calon pekerja migran. Rumitnya regulasi juga membuat mereka ‘terpaksa’ bergantung pada calo atau agen yang tidak jarang hanya mengeksploitasi mereka tanpa memperhatikan tiap prosedur yang harus dijalankan. Imelda menambahkan, penelitian CIPS menunjukkan agen membebankan biaya tertentu kepada para calon pekerja migran yang sebenarnya adalah untuk memenuhi biaya prosedural yang ditetapkan pemerintah.

Selain itu, pemerintah harus menyederhanakan prosedur pendaftaran dan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon pekerja migran. Pemerintah bisa memaksimalkan peran Puskesmas dengan memperbolehkan para calon pekerja migran untuk menjalani tes kesehatan sebagai bagian dari persyaratan pendaftaran. Durasi pelatihan yang berlangsung selama dua bulan seharusnya dikurangi agar mereka tidak kehilangan potensi pendapatan.

“Sangat disayangkan dengan apa yang terjadi kepada Adelina Sau. Kasus ini seharusnya bisa menjadi contoh nyata bagi pemerintah agar memperkuat perlindungan para pekerja migran di luar negeri. Sekalipun hal ini mungkin tidak dapat meringkan duka dari keluarga Adelina. Namun setidaknya kebijakan yang baru ini dapat memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para pekerja migran Indonesia lainnya,” paparnya.

Selain memperkuat perlindungan bagi para pekerja migran Indonesia, pemerintah pun seharusnya harus menindak tegas para agen penyalur pekerja migran illegal. Hal ini, lanjut Imelda, harus dilakukan karena pada dasarnya jalur yang mereka tawarkan akan merenggut perlindungan dan hak-hak para pekerja migran Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.