Pernyataan Dukungan Perkumpulan AEER atas Mogok Buruh PLTU Sumsel 1 Kabupaten Muara Enim
Jakarta, (9 Maret 2020) Hari ini sebanyak 120 orang pekerja konstruksi di proyek infrastruktur PLTU Sumsel 1 2x 300 MW melakukan aksi mogok kerja. Aksi mogok kerja dimulai pada pada 9 Maret 2020, tepat jam 7 pagi. Pemicu aksi mogok ini adalah kondisi kerja yang semakin memburuk dengan upah bawah UMK Muara Enim, lembur tidak dibayar, tidak ada hari libur, buruh tidak didaftarkan BPJS, dan terutama diskriminasi dan pemecatan secara sepihak.
Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat) pada tahun 2019 telah melakukan penelitian kondisi lingkungan dan pekerja PLTU yang pendanaannya berasal dari Tiongkok. Penelitian tersebut menemukan kondisi pekerja PLTU bekerja dalam jangka panjang 12 jam sehari pada tahap konstruksi di PLTU lainnya di Muara Enim. Juga kondisi kesejahteraan yang rendah kendati telah lebih 5 tahun bekerja di PLTU lainnya di Muara Enim.
AEER mendukung perjuangan mogok buruh PLTU Sumsel 1 2x 1300 MW yang telah dipersiapkan secara ketentuan, bahkan telah mendapatkan dukungan Kepala Desa di sekitar. AEER mendesak pemerintah pusat, kabupaten dan provinsi memperhatikan kelangsungan kehidupan buruh PLTU karena jumlah buruh yang direkrut saat operasi hanya 3% dari jumlah buruh masa konstruksi yang berlangsung 2-3 tahun. Pemerintah perlu mengalokasikan dana dan program untuk pelatihan pekerja ke sektor yang lebih berkelanjutan karena investasi PLTU kian tidak populer di lembaga pendana global karena dampak pemanasan global.
AEER juga mendesak lembaga pendanaan PLTU Sumsel 1, dalam hal ini Bank of China, China Construction Bank, ICBC agar melakukan pemantauan langsung ke lapangan persoalan sosial (perburuhan), lingkungan (terendamnya kebun karet warga) dari proyek ini berdasarkan kententuan Green Credit Guidelines Pasal 27 yang dikeluarkan oleh China Banking Regulatory Commission.
Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER menyatakan, PLTU di Muara Enim bisa berkembang pesat karena buruh murah dan waktu kerja yang intensif di saat konstruksi, dan juga biaya buruh yang rendah pada saat operasi. Pembangunan PLTU Mulut Tambang menghasilkan dampak lingkungan yang lebih intensif ke lingkungan hidup warga Muara Enim yang umumnya hidup sebagai petani. Kebun karet warga terendam saat banjir akibat aliran anak sungai di blok di wilayah perkebunan, dan dampak debu yang timbul pada saat operasi. Pemuda pemuda desa di sekitar lokasi PLTU mewarisi kemerosotan lingkungan hidup.
Di tengah kehancuran ekologis di pedesaan sekitar PLTU Muara Enim, memberikan upah rendah dan jam kerja panjang bagi mereka adalah resep kemiskinan dan ketidakbahagiaan bagi warga ke depan dari pembangunan yang terjadi