Buruh.co, Jakarta – Ribuan orang tiba-tiba berkabung dan ratusan mewujudkan rasa duka mereka di gerai McDonald Sarinah, Thamrin, Pusat Jakarta. Di media sosial, mereka memposting foto menyaksikan detik-detik penutupan McDonald di pusat wilayah bergengsi di Jakarta. Gerai restoran cepat saji dari AS itu memang pertama buka di Thamrin, pada 22 Februari 1991.
Keriuhan penutupan gerai itu sudah bergema beberapa hari sebelum resmi penghentian operasional. Diiringi ratusan orang fans, gerai itu tutup pada Minggu, 10 Mei 2020 pukul 22.00. Awalnya saya kira hanya saya, orang yang lahir dan besar di sebuah kampung di Jawa Tengah, yang heran dengan fenomena nostalgia anak-anak muda Jakarta dan bertanya-tanya, “Ada apa yang begitu heboh dengan penutupan itu dan nostalgia masa lalu? Kenapa kelas menengah itu rela meresikokan diri berkerumun di tengah pandemi virus corona meratapi McDonald Sarinah?” Tapi ternyata saya tidak sendiri mengherani pertaruhan nyawa demi Mcdonald itu. Bahkan, sebagian menyalakan lilin pada malam yang mengharu-biru itu.
Saya lantas sedikit menemukan jawaban ketika berselancar di media sosial. Ketika masuk pada 1990an di Indonesia, McDonald lantas menjadi sasaran anak-anak SMA zaman itu. Mereka yang kini menjadi generasi produktif dan meratapi kepergian McDonald sarinah. Banyak anak-anak muda perkotaan bahkan rela menabung dan membuat janji bersama untuk membeli produk-produk McDonald. Ketika berpacaran, konon tempat ini menjadi tempat bertemu sang kekasih.
Mungkin, sedikit yang teringat McDonald digugat Rp 7,8 triliun di Chicago, Amerika Serikat, karena “iklim “pelecehan seksual yang parah dan lingkungan kerja yang bermusuhan, termasuk meraba-raba, serangan fisik, dan komentar verbal yang mengarah ke seksual.”
Dalam buku No Logo, penulis Naomi Klein menjelaskan bahwa pada 1980an perusahaan-perusahaan besar mencoba menyasar generasi muda, anak-anak dari generasi baby boomers untuk perluasan bisnis. Untuk itu, mereka mengembangkan brand dan mencoba melekatkan apapun nilai-nilai yang dianggap keren oleh anak-anak muda, termasuk mendekatkan dengan dunia sekolah.
Tampaknya, McDonald sarinah berhasil menjalankan branding itu dengan maksimal. “Saat ini kita sudah sampai pada masa akhir McDonald’s Sarinah Thamrin. Tempat kebanggaan kita semua, tempat memori terkumpul menjadi satu,” ujar salah seorang perwakilan manajemen McDonald’s Sarinah, pada saat seremonial penutupan, Minggu (10/5/2020) malam seperti dikutip Kompas.com. McDonald Sarinah telah menjadi salah satu pembeda antara yang mampu membayar untuk nongkrong di sana ketika 1990an dan mereka yang tidak bisa.
Dari situ, saya kira ratapan kaum urban perlente ini lebih dari sekedar kenangan mereka atas McDonald sarinah. Mereka, yang kerap menjadi netizen yang menguasai jagad maya, tengah ingin menunjukan identitas kelas menengah. “Saya meratapi Mcdonald Sarinah, maka saya kelas menengah.” Laku sedih itu membesitkan cerita, ketika 1990an, para peratap itu merupakan bagian dari kelas menengah. Dalam kesedihan, ada ekspresi yang ingin membedakan, bahwa peratap merupakan kaum muda urban di zamannya yang nongkrong di tempat-tempat bergengsi.
Seperti di awal tulisan, ternyata saya tidak sendiri terheran-heran. Kawan saya seorang buruh di grup Bakrie, Setyo A. Saputro menyatakan keheranan seurpa. “McD Sarinah tutup saja, ambyar. Sampai rela kumpul-kumpul di tengah wabah, bikin seremoni segala macem. Itu lho, DPR ngotot buat ngesahin Omnibus Law RUU Cilaka. Nasibmu sebagai buruh kian terancam. Harusnya itu yang bikin kau ambyar,” tulis ketua serikat pekerja, Solidaritas Pekerja Viva. Belum lagi, banyak karyawan (label buruh untuk kelas menengah) yang terlambat menerima upah atau upahnya terganggu, lebih-lebih di tengah pandemi. “Asal tahu saja, hari ini, banyak buruh yang dipecat gara-gara pandemi. Ada pula yang sampai hari ini belum terima gaji bulan lalu. Padahal, mereka masih tetap melakukan tugasnya,” imbuhnya. Para pekerja di media Viva sendiri kini tengah mengalami keterlambatan pembayaran upah.
Pihak manajemen McDonald jelas menyadari betul adanya sentiman kebanggaan sebagai kelas menengah itu (jika kamu pernah nongkrong di McDonald Sarinah). Dan, entah bagaimana, beberapa hari sebelumnya ramai postingan-postingan soal gerai yang akan tutup itu sebagai akibat perubahan kebijakan pengelola Mall Sarinah bisa viral. Sebelumnya, Kementerian BUMN, untuk mengedepankan produk-produk Indonesia di pusat perbelanjaan yang dibangun di era Soekarno dengan utang dari Uni Soviet itu.
Alhasil, “Twitter, do your magic!”. Ratapan-ratapan itu menghasilkan sebuah peluang McDonald bisa tetap buka di lokasi super dupper strategis itu. Menteri BUMN Erick Thohir menyaratkan penjualan produk lokal di brand yang identik dari negeri Paman Sam itu. “Kalau McD mau buka di situ, kita carikan lokasi, tapi kita minta 50 persen konten lokal kalau bisa..Buka, jual kopi Indonesia, tapi juga jual kopinya di seluruh Indonesia.”
Entah bagaimana kelanjutan proses tawar-menawar antara Kementerian BUMN dan manajemen McDonald. Ratapan-ratapan kelas menengah semalam membuat saya terngiang kata-kata penutup tokoh Lucifer di film The Devil’s Advocate, “Vanity (kesombongan) is definetly my favorite sin.”