Kajian KOMNAS HAM: Pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) Agar Tidak Dilanjutkan

Komnas HAM

Berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (omnibus law), Komnas HAM RI
berdasarkan mandat Pasal 89 Ayat 1 huruf (b) dan (e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah melakukan pengkajian atas RUU Cipta Kerja. Hal ini karena materi muatan RUU Cipta Kerja bersinggungan langsung dan berpotensi mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Berdasarkan hasil kajian atas RUU Cipta Kerja, Komnas HAM RI berkesimpulan bahwa:

Bacaan Lainnya

1. Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau
mekanisme yang telah diatur Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini
khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 yang menjamin hak
untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan;

2. Terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior dimana dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja,Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undangundang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja;

3. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada
kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif, sehingga berpotensi memicu terjadinya
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundangundangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel;

4. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya, sehingga apabila RUU Cipta Kerja (omnibus law) disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum;

5. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi. Hal
ini diantaranya terkait dengan politik hubungan kerja yang membuka seluas-luasnya praktik
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)/kontrak; kemudahan dalam proses/mekanisme Pemutusan
Hubungan Kerja; penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait dengan upah, cuti
dan istirahat; serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi;

6. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Hal ini diantaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan AMDAL bagi kegiatan usaha, pendelegasian uji kelayakan lingkungan kepada pihak swasta, hilangnya Komisi Penilai Amdal, perubahan konsep
pertanggungjawaban mutlak sehingga mengurangi tanggung jawab korporasi dalam melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta berpotensi terjadinya alih tanggung jawab
kepada individu;

7. Relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa
memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi/lembaga yang mengawasi kebijakan tata
ruang dan wilayah sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup;

8. Pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah
melalui perubahan UU No. 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
dengan membuka semakin luasnya obyek yang masuk kategori kepentingan umum, padahal tidak
terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. Serta, kemudahan atas prosedur penitipan uang
ganti kerugian (konsinyasi) ke Pengadilan Negeri sehingga berpotensi memicu meluasnya
penggusuran paksa atas nama pembangunan;

9. Pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi). Hal ini di antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20% dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 (sembilan puluh) tahun;

10. Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif, karena lebih menjamin
kepentingan sekelompok orang/kelompok pelaku usaha/korporasi sehingga mendicerai hak atas
persamaan di depan hukum. Hal ini terkait dengan perubahan ketentuan penghukuman dari sanksi
pidana penjara menjadi sanksi administrasi denda untuk pelanggaran awal, dimana sanksi pidana
penjara baru berlaku apabila sanksi administrasi denda tidak dibayarkan. Hal ini diberlakukan atas:
1) hukum lingkungan; 2) penataan ruang; 3) bangunan gedung; 4) pangan; 5) serta monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.

Oleh karena itu, Komnas HAM RI merekomendasikan agar Presiden RI dan DPR RI mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja (omnibus law), dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 13 Agustus 2020
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.