Kadal Gurun, Ade Armando dan Rasisme

 

Denny Siregar adalah seorang buzzer yang cukup kondang. Popularitasnya di dunia maya terbilang tinggi. Pria ini beberapa kali diundang ke televisi. Duduk sebagai salah seorang narsum, terutama atas tema-tema terkait sepak terjang buzzer di jagad maya. Denny Siregar dikenal sebagai buzzer pro pemerintah, seperti sederet nama lain.

Belakangan, Denny Siregar (ikut) mempopulerkan istilah “Kadal Gurun” di laman media sosial. Istilah ini cepat menyebar, dipakai banyak warga net. Ia menjadi kosakata baru untuk merisak kubu lawan. Pada perkembangannya, “Kadal Gurun” dipendekkan menjadi “Kadrun”. Istilah ini kasar. Sayangnya tak cukup disitu. Tak semata kasar, patut diduga ada kandungan rasisme dalam istilah tersebut.

Menemui ucapan para buzzer, semacam Denny Siregar, kita akan memahaminya sebagaimana apa yang pernah Goethe ucap, “tidak ada yang lebih buruk selain kebodohan yang agresif”. Buzzer bodoh, sekaligus agresif. Mungkin kebodohan serta sikap agresif adalah bekal utama mata pencaharian mereka. Sebab ada yang membutuhkan tipikal manusia seperti ini, sebagai serdadu propaganda misalnya.

Namun sayangnya tak cuma kebodohan yang dapat menggelincirkan manusia pada prasangka rasisme. Di Jerman pada masa silam tersebutlah seorang cendekiawan bernama Martin Heidegger. Dia seorang filsuf cum rektor Universitas Freiburg. Karya dan pemikirannya dianggap cukup berpengaruh.

Pada hari normal, tentu saja Heidegger tampak seperti sosok pandai nan terhormat. Hingga orang ini kemudian waktu bergabung dengan Nazi, tempat yang memang selaras dengan sentimen Anti Semit-nya. Sentimen yang punya tempat tersendiri di benaknya. Heidegger jatuh dalam prasangka rasisme terhadap Yahudi. Seorang intelektual terperosok dalam kerusakan.

Bangsa Jerman dididik oleh tradisi filsafat yang kuat. Ketajaman olah pikir punya urat nadi yang lekat dalam anatomi masyarakat Jerman. Nama-nama seperti Hegel, Feuerbach, Nietzche, hingga Marx menjulur dalam khazanah kebudayaan berpikir mereka. Sejak era Prusia deretan filsuf lahir tumbuh di negeri itu.

Semua kemegahan pikiran ini tak menghalangi Jerman untuk jatuh dalam fasisme. Sebuah ideologi yang di dalamnya terendap konten rasialis yang banal. Prasangka rasialis menjadi kekuatan politik utama di Jerman pada suatu masa, persis saat Nazi berkuasa. Dan selebihnya adalah sejarah.

Rasisme sendiri bekerja salah satunya dengan produksi cercaan rasial (racial slur) yang intensif. Di dunia Barat ada cercaan rasial kepada bangsa Arab dan Afrika Utara. Salah satu cercaan rasial yang dipakai hingga sekarang berbunyi “Monyet Gurun” (Sand Monkey). Cercaan rasialis tersebut mengakar dalam praktek kolonialisme Barat di abad-abad silam.

Bila seorang terdidik dan pendidik seperti Ade Armando turut mengamplifikasi istilah “Kadal Gurun”, ini menjadi peristiwa buruk lainnya. Peristiwa yang memiliki kemiripan dengan kisah Heidegger di Jerman. Doktor ilmu komunikasi tentu sangat paham etimologi. Pun ragam istilah yang mengandung kemiripan makna.

Ade dan Denny seharusnya berbeda, tapi tidak begitu kenyataannya, mereka sama-sama gemar menggunakan “Kadrun”.  Hasrat politik menyatukan duo sejoli ini. Pada kasus ini, tumpukan buku, samudera pengetahuan, kunjungan ke kampus-kampus besar atau ketatnya kenaikan strata pendidikan, tampak tak membantu banyak. Seorang doktor berada satu halaman dengan pria cemar yang hanya bisa mengulang diksi “seruput kopi…”

Saya tak tertarik masuk dalam persengketaan sang dosen dengan Fahira Idris. Tema dugaan korupsi anggaran adalah satu hal, tetapi keduanya sulit dijauhkan dari anggapan baku risak dan pembelaan terhadap masing-masing junjungannya. Pertikaian semacam ini telah menjadi kudapan harian di meja makan politik kita dalam 5-6 tahun belakangan.

Istilah “Kadrun” bagi saya adalah cercaan rasial. Setidaknya mengandung tendensi rasialis di dalamnya. Cercaan rasial sendiri ialah kata atau frasa merendahkan yang merujuk pada kelompok, ras dan etnis tertentu. Penghinaan dan penistaan ​​rasial kerap digunakan demi mempromosikan purbasangka bahwa kelompok tertentu tak layak mendapat kesetaraan. Mereka pantas direndahkan.

Di Amerika kita mendapati sosok seperti Trump. Politisi yang naik ke pucuk kekuasaan dengan mengumbar demagogi “supremasi kulit putih” dan purbasangka rasial. Di berbagai belahan Eropa, imbas resesi ekonomi mendorong sentimen anti imigran dan kulit berwarna bertumbuh ulang, menyebar laksana virus.

Pada akhirnya, gelar doktor atau apapun itu, bukanlah vaksin yang akan membuat kita seketika kebal dari rasisme, sebuah penyakit purbakala yang menjijikan dan sekaligus mematikan. Tidak ada yang kebal, tidak Ade Armando, tidak juga kita. Rasisme adalah kerusakan. Melahirkan manusia rusak, pun intelektual rusak.

****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.