Pada penghujung 2019, KPBI merilis hasil survei mengenai ‘Buruh dan Politik’. Survei ini sendiri berjalan ditengah atmosfer Pemilu 2019 yang belum benar-benar reda. Survei menunjukkan beberapa temuan yang cukup menarik perihal perilaku politik anggota KPBI. Mayoritas anggota KPBI adalah orang yang masih senantiasa mengikuti proses Pemilu. Mereka pergi ke TPS, mencoblos, meski dibalik tindakan itu tersemat beragam pertanyaan dan sikap kritis yang menyertainya. Angka partisipasi pemilih diantara anggota KPBI pada kenyataannya terbilang tinggi.
Partisipasi pemilih di KPBI (%)
Memilih | Absen | |
Pemilu 2009 | 70 | 30 |
Pemilu 2014 | 77 | 23 |
Pemilu 2019 | 72 | 28 |
Di luar anggota KPBI, fakta politik lain menjelaskan bahwa tren pemilih di Pemilu Indonesia masih menunjukkan angka yang tinggi. Rakyat tetap rutin menyambangi bilik suara, mengambil pilihan, entah dengan preferensi politik tertentu atau alasan lain yang lebih pragmatis. Sekencang apapun kampanye kritis terhadap Pemilu, -semisal untuk mendorong Golput pada 2019-, yang dilakukan sebagian kalangan, pada kenyataannya tidak menghentikan rakyat untuk berbondong-bondong menggunakan hak suaranya di Hari-H Pemilu.
Partisipasi pemilih di Indonesia (%). Mengambil bilangan tertinggi dari pembedaan pemilu legislatif dan Pilpres
Memilih | Absen | |
Pemilu 2009 | 72,56 | 27,44 |
Pemilu 2014 | 75,11 | 24,89 |
Pemilu 2019 | 81,97 | 18,03 |
Mengenai perilaku pemilih di Indonesia, Sekjen Federasi Serbuk, Khamid Istakhori, memiliki pendapatnya sendiri. Menurutnya walau angka partisipasi pemilih terbilang tinggi, telah terjadi krisis loyalitas yang tajam terhadap partai politik di Indonesia. Terjadi pergeseran yang besar perihal bagaimana rakyat memandang partai di era Soekarno dan periode setelahnya. Di era Soekarno, partai politik akan dikaitkan dengan preferensi ideologis, keterwakilan atas gagasan besar tentang arah Indonesia dan manfaat langsung yang dirasakan rakyat dalam perbaikan kehidupan. Sebaliknya, belakangan tahun loyalitas publik terhadap partai-partai yang ada terus merosot tajam. Mengutip survei dari berbagai lembaga, tersaji data yang menegaskan hal tersebut.
Sebut saja, hasil survei yang dilakukan oleh Indobarometer. Lembaga ini mengajukan temuan, popularitas partai politik di Indonesia hanya sebesar 51,3% saja. Hasil riset lain yang dilakukan oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) justru menunjukkan angka yang lebih kecil, hanya 42,6 persen yang masih mempercayai partai politik. Penegasan serupa, juga disampaikan oleh Direktur Utama Saiful Mujani Researceh and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan. Dia menjelaskan hanya 11,7 persen warga Indonesia yang secara emosional berhubungan dekat dengan partai. Artinya, jika dilakukan perbandingan langsung, hanya ditemukan satu dari sepuluh pemilih di Indonesia yang memiliki loyalitas dengan partai pilihannya.
“Tingkat pemilih tinggi, loyalitas terhadap partai rendah. Asumsinya kemudian, orang memilih secara pragmatis. Ini juga berkaitan dengan kampanye massif yang menciptakan atmosfer Pemilu, pun faktor kuat depolitisasi yang kencang dan politik massa mengambang sepanjang Orde Baru yang implikasinya masih mengakar hingga sekarang. Juga ada mobilisasi uang, money politic, orang memilih karena dapat keuntungan jangka pendek tertentu”, ujar Khamid.
Selain masalah-masalah tersebut, Khamid juga menambahkan,
“Asumsi besar lainnya, publik sangat terbuka untuk kemungkinan berpindah pilihan partai, seturut pertimbangan dan penilaian mereka. Di pemilu kemarin PSI menangkap peluang itu, setidaknya terkonfirmasi di pemilih Jakarta. Gerakan rakyat harus melihat ini sebagai peluang. Tingkat partisipasi yang tinggi dan terbuka pada pilihan yang tidak sama dari sebelumnya. Sebagian kalangan aktivis menyebutnya sebagai politik alternatif”, ujar Khamid.
Mengenai gerakan rakyat yang berhehendak membangun partai, sebetulnya bukan wacana baru yang pernah secara terbuka atau terbatas disampaikan ke publik. Mengenai masalah ini, Ilhamsyah, Ketua KPBI mempunyai opininya,
“Masih ada perdebatan klasik di tubuh gerakan mengenai model partai yang akan dibangun. Perdebatan ini beberapa diantaranya malah berhenti dalam perselisihan teoritis yang tak berujung dalam praktek yang signifikan. Rakyat tidak menunggu kapan selesainya pedebatan itu. Faktanya mayoritas rakyat datang ke TPS. Tanpa gerakan hadir disitu. Absen panjang. Oligarki lah yang rutin mengisinya. Lalu kita tiap Pemilu tiba akan marah-marah dan mencaci-maki Pemilu. Alih-alih mencari jalan yang paling rasional untuk menjawab kekosongan. Absen panjang yang tak membuahkan solusi konkrit.”
Sementara di tempat berbeda, Ahong, ketua Departemen Media dan Propaganda KPBI, mengajukan penilaian lain.
“Survei politik KPBI tahun lalu juga menjelaskan fakta tentang problem pemahaman politik diantara anggota KPBI. Ini bukan fakta unik KPBI, rasanya ini pencerminan apa yang terjadi dalam masyarakat. Imbas politik Orde Baru yang masih mengakar hingga sekarang. Kondisinya buruk, mengutip tulisan Andre Vltchek, rakyat kita lama dipaksa bungkam, oleh karenanya lama hidup dalam budaya tidak berpikir. Jauh dari sains. Jauh dari pengetahuan politik yang baik. Rakyat sepenuhnya dikondisikan tidak terdidik, tidak terinformasi baik. Ini pekerjaan besar yang menanti, kalau kita mau bicara pendirian partai politik. Keresahan memang meluas, tapi tidak seiring dengan pertumbuhan pemahaman politik.”
Presepsi anggota KPBI atas situasi pekerja dalam 10 tahun terakhir (%)
Situasi Pekerja dalam 10 tahun terakhir | Pemilu 2009 | Pemilu 2014 | Pemilu 2019 |
Tidak ada perubahan | 81 | 90 | 81 |
Buruk | 45 | 76 | 61 |
Lebih buruk | 56 | 60 | 63 |
Aktivis senior yang sekarang bekerja di Departemen Pendidikan Federasi Serbuk, Happy Nur Widiamoko, menyumbang pandangannya mengenai pendirian partai politik ini,
“Rencana pembangunan partai politik ini baik. Namun sebagai sebuah agenda besar, dia harus juga mengukur kesanggupan subjektif. Ini bukan maksud mengendurkan semangat. Justru agar bisa sampai ke tujuan kita harus mengenal diri kita. Jangan sampai seperti kata pepatah Jawa, kegeden empyak, kurang cagak.”
Happy sendiri menyoroti lemahnya isian politik di berbagai serikat buruh. Organisasi tidak bekerja untuk memberikan arah dan garis politik yang lebih terang.
“Diskursus politik, sejujurnya belum menjadi kesehariaan mayoritas kita, tidak riel dalam hari-hari keserikat buruhan. Kontennya masih jauh, kalah padat, dengan pembicaraan terkait kasus dan advokasi, semisal. Anggota kita kebanyakan belum terpolitisasi dengan baik. Bagaimana Anda mau membicarakan agenda politik yang besar, sementara di organisasi sendiri orang minim membicarakan konten politik. Sama dengan melawan kapitalisme, kita tak bisa berbekal semangat dan slogan belaka. Tapi tindakan dan juga pikiran yang baik dan terukur. Saya kira pendidikan dan kultur melek politik itu harus dibangun segera. Tentu saja politik yang mewakili kelas tertindas.”
Ragam pendapat terus beredar mengenai pembangunan partai. Ada berbagai spektrum pemikiran dan gagasan menyangkut tema ini di internal KPBI sendiri. Perbedaan yang muncul dari masing-masing pihak harus dilihat sebagai polemik yang positif untuk mendorong kemajuan gerakan buruh. Menjelang diskusi putaran kedua pembangunan partai politik di KPBI, rasanya kita harus mulai mengajukan pertanyaan, kita maunya apa? Lantas apakah kemauan itu terhubung dengan kenyataan dan bisa dijalankan? KPBI harus memulai kembali upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
***