“Jangan buka jaringan, limpahkan semua ke aku,” kata Petrus Bimo Anugrah
21 tahun yang lalu Sekitar bulan Mei 1997 bersama Herny Sualang dan Petrus Bimo Anugrah sesaat setelah keluar dari sel tahanan Polda Metro Jaya. Sebelumnya kami ditangkap di awal tahun 1997 saat ada operasi gabungan dini hari di daerah Pasar Jumat lebak bulus.
Diktator Orde Baru yang menetapkan PRD sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 dan menyatakan PRD dan semua ormasnya menjadi organisasi terlarang. Pernyataan resmi ini di ikuti perburuan dan penangkapan aktifis2 aktifis PRD. Puluhan di tangkap, sebagian akhirnya di lepas dan belasan orang di sidang hingga vonis belasan tahun. Banyak yang trauma dan ketakutan tapi juga masih banyak yang terus bergerak dan melawan dalam situasi yang represif dalam bentuk gerakan bawah tanah.
Di awal 1997 sebelum Pemilihan umum Partai memutuskan untuk memboikot Pemilu. Dalam memasifkan propaganda Boikot Pemilu untuk Jakarta di bentuk beberapa tim untuk melakukan Grafity action. Saya bersama dua orang kawan Herny Sualang dan Bahrun satu tim sedangkan tim lain Dwi (Lukas) juga bersama dua kawan lainnya. Sedangkan Petrus Bimo Anugrah bertugas menjaga Pooling. Sekitar jam 12.00 dini hari kami keluar dari pooling untuk menjalankan tugas. Tim saya bergerak menuju Terminal Kampung Rambutan karena titik keramaian adalah sasaran grafity.
Tembok pembatas jalan Tol dekat pintu masuk terminal adalah sasaran pertama. Saya yang pertama yang melakukan coretan sedangkan disebrang jalan Herny mengawasi dari sisi kiri dan Bahar mengawasi dari sisi kanan. Saya mulai menulis BOIKOT PEMILU – GULINGKAN SUHARTO. Selesai menuliskan itu saya bermaksut untuk memperjelas tulisannya tapi dari arah sebelah kanan saya melihat cahaya motor. Pertama saya masih merasa aman karena tidak ada kode tanda bahaya dari kawan Bahar tapi cahaya motor yang berjalan di sebelah kiri bergerak kearah tengah dan mendekat ke arah saya. Semakin dekat motor tersebut saya mulai bisa melihat celana coklat dan jaket hitam dan sepatu ala Polisi. Semakin dekat pengendara motor tadi saya dengar suara membentak woooi.. Spantan saya meloncat ke balik tembok jalan tol yang sedang di bangun.
Berlari secepat dan sejauh mungkin adalah pilihan untuk menyelamatkan diri. Setelah cukup Jauh berlari saya sempat berhenti sebelum menyebrang jalan tiba tiba pengendara motor yang tadi muncul kembali bahkan hampir menabrak saya. Balik badan dan berlari zikzak secepat mungkin karena yang ada dalam fikiran adalah ditembak malam itu. Karena berlari di jalan tol yang lagi dibangun di sana-sini ada lobang dan gundukan tanah membuat saya beberapa kali terjatuh.
Sampai di jalan beraspal kaki saya benar benar sudah tidak kuat menopang badan hingga saya merangkak menyebrang jalan. Sampai di sebrang saya melihat lampu mobil dan ternyata itu mobil angkot. Saya menyetop dan dengan susah payah naik ke angkot yang menuju terminal kampung rambutan.
Sampai terminal saya membeli sebotol air minum dan naik ke bus yg mangkal untuk beristirahat. Kaki saya tidak berhenti gemetaran saya kefikir bagai mana Herny dan Bahar. Apakah mereka berhasil kabur atau tertangkap?
Setelah sedikit tenang saya mencari taksi untuk balik ke pooling. Sampai di Pooling hanya ada Bimo dan dia menanyakan mana yang lain. Saya menyampaikan kejadian tadi bahwa ada polisi yang mengejar, dari luar Herny datang juga dalam keadaan panik sambil berkata Misi Eror Misi Eror……
Kita semua panik dan berasumsi kawan Bahar tertangkap hingga saat itu juga memutuskan untuk evakuasi. Semua dokumen yang ada di poling di masukkan ke dalam tas ransel, seingat saya ada 6 tas ransel dan kami bergegas keluar. Saya tidak tahu kemana dini hari itu akan evakuasi yang tau hanya Bimo. Kami. Bertiga naik taxi saya duduk di posisi depan di belakang Bimo dan Herny, masing masing kami memangku tas dan sebagian di bagasi. Setelah berjalan sekitar 2 km tepatnya di depan Halte pasar Jumat ada razia gabungan puluhan mungkin sampai seratusan aparat polisi dan tentara yang sedang melakukan razia. Mereka juga menghentikan taxi yang kami tumpangi. Perasaan ketakutan yg baru sempat hilang kembali menyelimuti fikiran.
Aparat yang menghentikan kendaraan menyuruh untuk menurunkan kaca mobil. Melihat kami membawa tas tas ransel dan mungkin juga melihat raut muka saya yg gugup aparat menyuruh kami untuk turun dari mobil. Sepertinya aparat semakin curiga melihat celana saya yang belepotan tanah hingga dia bertanya “Ini kenapa sambil menunjuk ke celana” dan saya dengan gugup asal jawab, “duduk2 dibawah pohon”.
Aparat sepertinya makin curiga hingga mengiring kami ke halte yang ada lampunya. Salah seorang aparat membuka tas ransel yang kami bawa lalu menarik salah satu dokumen. Memang apes malam itu, dokumen yang di tarik aparat dengan judul besar MUSUH KITA BUKAN CINA ATAU KRISTEN TAPI PENGUASA MILITER ORDE BARU.
Aparat langsung berteriak Nah ini yang kita cari.. Caci maki dan sumpah serapah aparat mebuat jantung berasa mau copot. Puluhan aparat langsung mengerubungi kami dan kami langsung di borgol.
Kami di borgol dengan dua borgol saya posisi di tengah, perasaan waktu itu sudah tidak menentu yang ada dalam fikiran bayangan penyiksaan. Pasrah ya pasrah tapi ada hal yang menguatkan saya, di saat kami dibawa dengan mobil aparat Bimo Berbisik.. JANGAN BUKA JARINGAN LIMPAHKAN SEMUA KE AKU.
Kata kata Bimo ini masih terus tergiang hingga hari ini. Dan saya baru mengerti maksudnya setelah dini hari itu kami sampai di markas tentara dan di masukkan kedalam sel. Dalam sel dengan kondisi tangan masih diborgol Bimo Menyampaikan skenario kalau nanti di BAP. Dia menyampaikan bahwa saya dan Herny hanya dimintain tolong untuk membawa ransel ransel. Lalu dia menjelaskan banyak hal untuk di singkronkan bila di BAP.
Petrus Bimo Anugrah/Bimpet adalah sahabat dan sekaligus tauladan bagi saya. Tanggung jawab, keberanian dan kecerdasannya memang tidak diinginkan oleh Orde Baru Suharto hingga Bimo diculik dan dihilangkan oleh diktator militer orde baru.
Dua puluh tahun Reformasi aktor-aktor pelaku kejahatan HAM masih bercokol di kekuasaan. Tidak satupun pemerintahan sipil pasca reformasi yang berani mengungkap kasus pelanggaran HAM berat karena semua masih terus berlindung dibawah ketek militer untuk mepertahankan kekuasaannya.
Catatan redaksi:
Bimo Petrus adalah pegiat Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ia hilang pada 13 Maret 1998 dan tidak diketahui hingga kini keberadaannya. Penghilangan paksa merupakan salah satu bentuk kejahatan Hak Asasi Manusia karena sistematis dan dilakukan oleh aparatur negara. Hingga kini, persoalan penghilangan paksa tidak pernah tuntas. Orde Baru melakukan penghilangan paksa pada 13 aktivis pada masa-masa menjelang reformasi. Sepanjang berkuasa, kediktatoran Soeharto melakukan penghilangan paksa pada puluhan ribu orang, mulai kasus penghilangan paksa pengikut PKI, ormas-ormas yang dekat dengannya, dan para nasionalis pendukung Soekarno, tragedi Talang Sari, tragedi Tanjung Priok, penyerbuan Timor Leste, dan Aceh.
1 Komentar