IWD 2021, Buruh Perempuan Lawan Pemiskinan Struktural dan Kekerasan Berbasis Gender di Tempat Kerja

 

Pemiskinan Struktural Buruh Perempuan

Bacaan Lainnya

Di tengah situasi pandemi, pemerintah mengeluarkan ragam kebijakan yang semakin meminggirkan kaum buruh, terutama buruh perempuan yang menjadi jantung Kapitalisme. Pada tahun 2021, Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan Permenaker No. 2/2021 tentang Pelaksanaan Upah Pada Industri Padat Karya Tertentu Dalam Masa Pandemi Covid 19. Permen ini membolehkan upah buruh di industri padat karya di bawah UMP sehingga hanya menguntungkan pihak investor.

Keberadaan permenaker ini memperbesar peluang kesewenang – wenangan pengusaha untuk mengupah murah buruh di sektor padat karya yang mayoritas adalah perempuan. Dengan adanya relasi kuasa yang timpang, hampir tidak mungkin ada perundingan yang setara antara buruh dan pengusaha. Singkat kata, penentuan upah berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan buruh di tingkat tempat kerja adalah bentuk tipu muslihat negara untuk lepas tangan dari tanggung jawab perlindungan upah buruh. Secara hukum, Permen ini juga bertentangan dengan UU yang lebih tinggi karena pengaturan tentang upah sektoral itu tidak diatur dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020. Dalam Pasal 88A UU Cipta Kerja jelas menyampaikan bahwa upah tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah UU Cipta Kerja dan Keputusan-keputusan tentang Pengupahan. Jika kesepakatan upah lebih rendah dari peraturan perundang-undangan di bidang pengupahan, maka sesuai pasal 88A UU Cipta Kerja, kesepakatan itu batal demi hukum.

Kehadirkan Permenaker tentang pengupahan di sektor industri padat karya ini semakin memperjelas dimana posisi pemerintah berpihak. Pemerintah untuk ke sekian kalinya  memilih melindungi pengusaha yang sebelumnya sudah banyak memperoleh kemudahan dari pemerintah, baik itu berupa keringanan pajak, kredit, BPJS dll. Mestinya pemerintah berperan melindungi buruh yang posisi tawarnya lebih lemah, pun merasakan dampak pandemi jauh lebih besar dibandingkan pengusaha.

Kita tentu masih ingat bagaimana UU Cipta Kerja dikejar tuntas pengesahannya di tengah situasi pandemi yang tidak menentu. Sedari awal UU ini sudah mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat karena dianggap hanya menguntungkan investor dan mengabaikan hak rakyat. Setelah UU ini disahkan, sudah diperkirakan PP turunannya tentu jauh lebih merugikan. Sejak 2 Februari 2021 Presiden telah menetapkan 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres) yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Terdapat dua PP yang secara khusus mengenai dunia kerja, yakni PP No. 35/ 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (singkatnya PKWT-PHK), dan PP No. 36/ 2021 tentang Pengupahan yang secara sistematis semakin memiskinkan buruh perempuan. Sejak awal, UU Cipta Kerja membawa gagasan fleksibilitas tenaga kerja yang semakin membawa ketidakpastian nasib buruh, terutama buruh perempuan yang dalam semangat produktivitas sistem Kapitalisme tidak diperhitungkan kebutuhannya. Berikut adalah dampak PP turunan CIpta Kerja :

PP No. 35/2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya Waktu Kerja dan Waktu istirahat dan PHK  memperpanjang periode kontrak menjadi 5 tahun. Artinya, buruh bisa dikontrak selama 5 tahun, yang tercantum dalam PP Np.35/2021 Pasal 6 dan 8 yang menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) “dapat dibuat untuk paling lama 5 tahun”.  Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, masa kontrak dibatasi 3 tahun. Selama ini dalam realita di lapangan, masa kontrak bisa lebih dari 3 tahun dan tidak ada penindakan dari pihak pengawas ketenagakerjaan, kini dengan adanya PP tersebut masa kontrak lebih dari 3 tahun justru dilegalkan. Tidak menutup kemungkinan, masa kontrak bisa seumur hidup. Keberadaan PP ini mempermudah pengusaha menerapkan sistem kerja kontrak dan jauh lebih mengancam buruh musiman, harian hingga buruh di sektor pekerjaan yang diinformalkan karena diakui sebagai buruh saja tidak.

Kita mengetahui bahwa di sektor industri padat karya, sektor jasa, pekerjaan yang diinformalkan banyak dipenuhi oleh buruh perempuan dengan status kerja tidak jelas (kontrak berkepanjangan, harian lepas). Akan semakin sulit bagi buruh perempuan untuk lepas dari jerat kemiskinan karena secara sistematis ditempatkan di sektor industri yang dianggap non skill. Pilihannya kemudian adalah menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang nasibnya tak kalah tragis dibanding bekerja di negeri sendiri. Dengan kemiskinan yang makin akut ini, semakin sulit bagi buruh perempuan untuk mengembangkan diri maupun berorganisasi supaya berdaya. Kemiskinan sistematis turut memberi dampak pada minimnya partisipasi buruh perempuan dalam  organisasi dan Serikat Pekerja. Suara buruh perempuan makin diberangus, tersisih dan tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi.

Upah Minimum Makin Murah. Dikatakan bahwa Upah Minimum merupakan upah yang paling minimum bagi buruh dan keluarganya untuk bisa hidup layak. Pernyataan ini dibenarkan dalam PP No.36/2021 Pasal 2 yang menyatakan “setiap buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, alih – alih mempertegas pelaksanaan upah minimum, PP ini justru kemudian mempermudah upah di bawah UMP tanpa perlu disebut pelanggaran apalagi pidana. Di dalam Pasal 25 ayat 4, dikatakan upah minimum ditetapkan berdasarkan “kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan” yang tentu saja membuka pemakluman upah di bawah UMP dengan alasan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, alias diserahkan pada mekanisme peasar. Pun Upah Minimum Sektoral dan UMK dihilangkan sehingga terjadi penurunan upah di beberapa kota yang sebelumnya lebih tinggi dari UMP. Sementara, penentuan upah tidak pernah dilandaskan pada kebutuhan perempuan, sehingga tidak ada pertimbangan kebutuhan pembalut misalnya, atau kebutuhan berbasis kesehatan reproduksi kaum perempuan. Upah, sejauh ini berpatok pada kebutuhan buruh lelaki lajang.

 

Pesangon dikurangi. Dalam PP No. 35/2021, Pasal 41 – 47 dinyatakan bahwa uang pesangon hanya separuh dari aturan umum jika perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan perusahaan, terjadi pengambilalihan perusahaan, efisiensi akibat kerugian, perusahaan tutup, kewajiban pembayaran utang, perusahaan pailit. Tentu saja ini mengurangi hak buruh padahal dalam UU No.37/2004 pasal 95 tentang kepaiiltan, hak buruh harus diutamakan. Di banyak kasus pengusaha seringkali melakukan PHK semena – mena dan besar kemungkinan menggunakan pasal – pasal di atas untuk memberi pesangon hanya separuh dari ketentuan umum. Dengan pesangon yang amat sedikit, dan sulitnya mencari pekerjaan tentu buruh tidak akan bisa bertahan dalam rentang waktu menjadi pengangguran. Sementara, PP Jaminan kehilangan pekerjaan hanya bisa diakses oleh peserta BPJS yang sudah mengiur 12 bulan berturut – turut padahal mayoritas buruh adalah kontrak dengan jangka waktu sangat pendek. Di sektor garmen, banyak ditemukan masa kontrak hanya 20 hari – 30 hari saja atau bahkan 14 hari.

 

UU Cipta Kerja dan turunannya yang dipaparkan di atas mendorong buruh perempuan semakin tunduk dan pasif, siap diupah murah karena ketiadaan pilihan agar tidak melawan dan melapangkan jalan investasi dengan dalih untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi nasional yang digadang – gadang pemerintah tersebut tidak pernah untuk kepentingan memajukan perempuan.

 

Tanpa Pengesahan RUU PKS, Kekerasan di Tempat Kerja Sulit Teratasi

Selain dimiskinkan, dalam dalam struktur sosial masyarakat yang patriarkal, perempuan kerap ditempatkan sebagai obyek seksual termasuk di dalam dunia kerja. Persoalan kekerasan seksual yang menimpa buruh perempuan tidak bisa dilepaskan dari problem keseluruhan buruh perempuan yang sarat dengan eksploitasi baik sebagai buruh maupun sebagai perempuan. Buruh perempuan tak sedikit yang memegang peran utama sebagai kepala keluarga, namun tidak pernah diakui sebagai pencari nafkah utama. Mereka menjadi pencari nafkah utama bagi kelangsungan hidup keluarganya dan sebagian masih harus mengirimkan beberapa dari penghasilannya untuk keluarga di kampung. Untuk keberlangsungan ekonomi keluarga, buruh perempuan mesti bersusah payah mempertahankan pekerjaannya sebagai sumber mata pencaharian. Dengan sistem kerja kontrak yang sangat pendek, yaitu hanya 1 – 3 bulan saja dan telah dipermudah dengan hadirnya UU Cipta Kerja dan turunannya,  buruh perempuan beresiko kehilangan pekerjaan sewaktu – waktu, yang artinya kelangsungan hidupnya dan keluarga tidak terjamin.

Situasi ini berbarengan dengan kondisi kerja yang buruk, dimulai dari ketiadaan sanitasi yang baik, tidak disediakannya air minum berkualitas, makanan yang tidak bergizi, target yang tidak masuk akal sehingga harus menahan kencing berjam – jam, makian dari pengawas, cuti haid yang dipersulit, tidak diberikannya cuti hamil melahirkan, jam kerja panjang dan tidak disediakannya mobil jemputan ketika pulang malam, dll.

Di tengah lemahnya posisi tawar buruh perempuan itulah, buruh perempuan rentan mengalami kekerasan seksual. Rendahnya jaminan keberlangsungan kerja dengan kontrak kerja pendek, membuat buruh perempuan memilih diam ketika mengalami kekerasan seksual dari atasan. Bahkan ketika kekerasan seksual terjadi secara massal oleh seorang atasan, korban memilih diam demi mempertahankan pekerjaan. Dalam suatu kasus, pelecehan seksual terjadi secara massal oleh atasan baik dengan rayuan, ajakan kencan maupun sentuhan dengan iming – iming menjadi buruh tetap. Di tempat lain, pelecehan seksual terjadi mana kala buruh perempuan dipaksa membuktikan dirinya haid dengan menunjukkan celana dalam dan pembalutnya.  Cerita – cerita tersebut bagai gunung es karena korban memilih melakukan “Aksi diam” yang merupakan  bentuk ketidakberdayaan karena merasa tidak punya pilihan. Kebutuhan akan kerja demi sesuap nasi memaksa mereka untuk diam dan itu dianggap sebagai kewajaran.

Dari pengalaman di atas, tak selamanya buruh perempuan korban diam. Ada sebuah proses dimana buruh perempuan mulai berani bicara dan melakukan perlawanan.  Upaya buruh perempuan untuk berbicara tak jarang berhadapan dengan lemahnya penegakan hukum selain karena ketiadaan payung hukum penghapusan kekerasan seksual.

Tidak disahkannya RUU PKS oleh negara merupakan cerminan dari ketiadaan keberpihakan negara kepada korban dan makin mempersulit pembela korban dalam melakukan advokasi di lapangan. Tidak disahkannya RUU PKS ini juga mempersulit upaya Serikat Buruh dalam melakukan tindak pencegahan, penanganan, pemullihan hingga penghentian kasus kekerasan seksual karena tidak ada dasar hukum yang fundamental yang bisa menjadi dasar ketika melakukan advokasi. Upaya penegakan hukum kemungkinan besar akan kembali menghadapi kebalnya pelaku di hadapan hukum dengan kekuasaan yang dimilikinya, ditambah kultur atau budaya hukum aparat hukum yang masih patriarkal dan kerap menyalahkan korban.

Kerja Reproduksi Sosial Perempuan Tidak Diakui, PRT Nyaris Tidak Memiliki Hak

Kerja reproduksi sosial seperti kerja perawatan dan pelayanan di ranah domestik (hamil, melahirkan, merawat calon tenaga kerja, menyediakan pelayanan bagi buruh supaya bisa bekerja lagi esok hari dalam kondisi prima, dll) yang menjadi jantung Kapitalisme tidak pernah diakui sebagai kerja. Padahal, tanpa kerja reproduksi sosial, Kapitalisme tidak akan pernah hidup. Dari sejak lahirnya, Kapitalisme telah menggantungkan dirinya pada kerja reproduksi sosial yang menopang kerja di area produksi. Tak heran, dalam skema produksi kapitalisme dengan kacamata produktivitasnya tidak pernah mempertimbangkan siklus reproduksi perempuan. Tidak ada perempuan dalam kacamata produktivitas ekonomi kapitalisme, sehingga buruh perempuan ketika haid, hamil, melahirkan dan menyusui dianggap sebagai penghambat produktivitas. Sementara tenaganya diperas, ditundukkan, dipaksa pasif dengan budaya patriarkal demi profit berlimpah tanpa batas.

Tidak diakuinya kerja reproduksi sosial berimbas pada tidak adanya penghargaan pada kerja reproduksi sosial. Dengan kata lain, dianggap tidak bernilai sehingga wajar diupah murah atau malah tidak diupah sama sekali. Seringkali, cara pandang ini mengarah pada praktek perbudakan, yang ironisnya masih dianggap lazim di era modern sekarang ini. Itulah mengapa penggunaan istilah Pekerja Rumah Tangga menjadi penting karena memuat kata “pekerja”, bukan “pembantu”. Istilah “pekerja” memuat hak sebagai pekerja dan bentuk pengakuan pada hubungan kerja yang berlangsung antara pemberi kerja dan penerima kerja di rumah tangga yang kerap dianggap privat dalam budaya masyarakat patriarkal nan feudal.

Tampaknya pertentangan ideologi patriarki dan feminisme menjadi landasan fundamental tidak kunjung disahkannya RUU PRT maupun RUU PKS. Negara yang kapitalistik dan patriarkal merasa berkepentingan mempertahankan sistem kapitalistik dan patriarkal demi mengamankan kepentingannya sebagai penguasa dan penopang dari sistem yang tengah berlangsung.

Penguatan Konsolidasi dan Kepemimpinan Buruh Perempuan

Di tengah hantaman UU Cilaka dan turunannya, krisis pandemi dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja, buruh perempuan dihadapkan pada tantangan yang kompleks. Kompleksitas persoalan buruh perempuan yang berlangsung dalam kehidupan sehari – hari buruh perempuan menghadirkan upaya tidak berkesudahan untuk mengorganisir diri. Dimulai dari saling berbagi pengalaman hidup terkait posisi di dalam keluarga, problem di tempat kerja hingga diskriminasi di setiap aspek kehidupan memunculkan rasa kebersamaan dan solidaritas sebagai landasan konsolidasi.

Di tengah hangatnya kebersamaan dan solidaritas itulah buruh perempuan terus mengikatkan diri, memupuk kepercayaan diri, kekuatan saling dukung untuk maju bersama. Kami memahami, kesulitan hidup hanya bisa diatasi bila dihadapi bersama bukan dengan terberai. Hal ini menjadi keyakinan diri, bahwa buruh perempuan mungkin dan sanggup mengembangkan diri, berpartisipasi dalam perjuangan hak di Serikat Pekerja sebagai bentuk pengarusutamaan gender, agar hak buruh perempuan tidak terabaikan. Demikian halnya dalam aspek kehidupan lainnya baik di dalam keluarga, masyarakat maupun bernegara. Kami, buruh perempuan ada dan berhak didengarkan suaranya dan turut serta dalam setiap pengambilan kebijakan atas nasib kami sebagai buruh dan perempuan karenanya kami menuntut kepada negara :

  1. Cabut UU Cipta Kerja dan turunannya
  2. Sahkan RUU PKS dan RUU PRT
  3. Ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan di Dunia Kerja
  4. Tempat Pengasuhan Anak Buruh di Tempat kerja atau Kawasan Industri

Sekaligus, dalam kesempatan ini di momentum Hari Perempuan Internasional 2021, kami dari Perempuan KPBI mengajak teman – teman buruh perempuan untuk tidak lelah mengorganisir diri, berkonsolidasi dan memperkuat kepemimpinan buruh perempuan untuk kesejahteraan dan kesetaraan

Hidup Buruh Perempuan!

Hidup Perempuan!

Selamat Hari Perempuan 2021

 

Pernyataan sikap ini diterbitkan oleh Perempuan KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.