(Ringkasan: Artikel ini menganalisa hasil pilkada dan karakter kelas borjuis di Indonesia. Artikel ini juga memberi tawran jawaban kenapa dan seperti apa yang dimaksud oposisi di Indonesia serta bagaimana perbedaan partai-partai saat ini. Tidak hanya itu, artikel ini mempertanyakan dan mencari peluang kebangkitan kekuatan politik kiri)
Pada 27 Juni lalu, Indonesia melakukan pemilihan umum serentak untuk memilih kepala daerah (waikota, bupati, dan gubernur) di 171 daerah. Hasilnya cukup mengejutkan. Partai-partai yang memiliki basis dukungan jangka panjang di beberapa wilayah tetap memenangkan dukungan itu. 13 partai mayoritas di parlemen masuk ke dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi –pen.)—hanya tiga partai yang berada di luar pemerintahan—dan mayoritas gubernur-gubernur baru adalah sekutu Jokowi. Ada satu hal yang mengejutkan di tingkat lokal, yakni beberapa cabang partai yang mendukung Jokwi di tingkat nasional justru mendukung partai-partai oposisi. Pada wilayah kunci seperti Sumatera Utara, partai Jokowi—PDIP—kalah karena kondisi ini.
Terlepas dari hal tersebut, pemilihan umum ini sekali lagi adalah ladang tandus politik Indonesia—hasil dari pembantaian 1965 yang mengorbankan ratusan ribu kaum Kiri di tangan militer. Partai Komunis Indonesia, sebagai salah satu partai komunis terbesar di dunia, disapu bersih. Gagasan Kiri kemudian dilarang. Organisasi-organisasi berbasis massa dimusnahkan. Semenjak pembantaian itu, kontrol ketat atas pengetahuan sejarah menghilangkan hampir seluruh ingatan tentang perjuangan kaum Kiri. Marxisme, sampai sekarang tetap dilarang secara hukum disertai dengan ancaman (termasuk pemenjaraan) karena “menyebarkan secara luas” gagasan tersebut.
Namun bukan berarti hari ini terjadi pengurangan partai di Indonesia. 14 formasi berbeda berpartisipasi dalam pemilihan umum dengan simbol-simbol dan retorika-retorika tertentu untuk membedakan diri mereka. Beberapa mengadopsi semi-sekular, nasionalis moderat; berdasarkan agama, Islam; yang lain menggabungkan keduanya: “nasional relijius.”
Namun perbedaan di antara semuanya bukan perbedaan yang substansial. Tidak ada formasi yang mengartikulasikan politik Kiri—tidak ada partai sosial-demokrat atau partai buruh; tidak ada partai yang berdasarkan kelas. Serikat buruh, meski lebih aktif dibanding beberapa dekade lalu, masih kecil dan terpecah-pecah, dengan serikat terbesar yang dikooptasi oleh satu atau lebih partai elit. Tidak ada gerakan tani yang signifikan meskipun terdapat banyak wilayah pedesaan dan protes-protes petani akibat pengambilalihan tanah secara paksa. Tidak ada pula figur-figur sosialis atau sosial-demokrat yang bersuara di tingkat politik nasional, meski hanya suara yang kecil.
Mengapa, kemudian, terdapat begitu banyak partai? Jawabannya ada pada karakter kelas kapitalis Indonesia—kelas dominan dengan organisasi politik di tingkat nasional. Indonesia, seperti negara-negara Dunia Ketiga yang lain, secara ekonomi masih tertinggal meski belakangan terjadi tingkat pertumbuhan yang kuat—dengan pertumbuhan rata-rata antara 4 sampai 6 persen sejak akhir 1960-an. Pendapatan per kapita hanya $4.000. Indonesia tidak memiliki basis industri yang sejati—tidak ada kapasitas domestik untuk memproduksi pabrik, permesinan, besi, dan baja. Sekurangnya 5 juta dari 160 juta tenaga-kerja bekerja di perusahaan-perusahaan manufaktur skala sedang dan besar.
Dapat dibilang bahwa “kelas kapitalis nasional” Indonesia lebih sedikit dibanding “kelas kapitalis domestik.” Kapitalis yang menanamkan kapitalnya secara nasional masih jarang, dan meskipun ada, basisnya ada di sektor produksi tidak riil—kapitalis terkaya terkoneksi dengan produksi rokok. Kebanyakan kapitalis yang lebih besar dapat dilacak asal-muasalnya sampai ke era Soeharto dengan kekuatan otoritarian dan sentralistiknya yang membantu mereka berkembang.
Mayoritas kapitalis Indonesia adalah operator-operator kecil. Perusahaan mereka melayani pasar lokal: unit provinsi, atau beberapa provinsi. Parokialisme membanjiri politik mereka. Gaya politik mereka mencerminkan unsur kultural dominan di area-are mereka berada, dan partai politik-partai politik di tingkat cabang terhubung dengan pemilih mereka melalui kamus kultural tersebut: satu atau lebih varian Islam; Jawa yang eklektik (Kejawen), kultur semi-sekular; Kristen wilayah timur Indonesia; dan lain-lain.
Janji “tunjangan kesejahteraan” bisa saja ada, namun ia hanya janji patron lokal yang menawarkan bantuan kepada klien-kliennya. Sampai taraf tertentu, dinamisme ini terkikis di pusat-pusat kawasan urban proletar dan semi-proletar, namun tidak ada alternatif kuat yang muncul. Meski di wilayah urban padat penduduk, hampir semua komunitas berakar pada kultur patron-klien.
Munkin perwujudan paling nyata dari karakter lokal partai adalah bahwa mereka semua—untuk membedakan secara signifikan—memiliki basis pemilih di wilayah-wilayah spesifik, meski mereka mengklaim sebagai partai nasional. Perbedaan lainnya adalah unsur-unsur politik mereka yang berhubungan dengan kebutuhan umum kelas kapitalis domestik dibingkai (framed) oleh sejarah mereka sebagai kelas kapitalis yang bergantung kepada negara. Kubu pertama yang direpresetasikan oleh Jokowi dan 9 partai pendukungnya merasa puas dengan “demokrasi” (yakni, pluralisme formal bagi seluruh partai borjuasi). Mereka mengakui kebutuhan akan kebebasan transaksi-transaksi yang sedang terjadi di semua fragmen, meski juga bersiap untuk menerima kekacauan penyusunan-penyusunan koalisi. Di kutub kedua ada pendambaan untuk kembali ke masa pemerintahan otoritarian yang sentralistik. Mereka menginginkan bentuk rezim yang memungkinkan mereka berkembang tanpa percekcokan/perselisihan.
Yang berhubungan dengan kutub kedua ini adalah beberapa partai atau organisasi—secara terbuka maupun tidak—yang menginginkan negara Islam (Islamic state) atau semacamnya. Mereka menginginkan sebuah negara di mana hukum dan otoritas relijius menjadi dasarnya. Mereka membenci konsensi-konsesi sekular dengan pluralisme elektoralnya. Di parlemen nasional, partai terbagi menjadi tiga blok. Blok pertama terdiri dari 8 partai yang mendukung pemerintahan Jokowi—kaum “demokrat” transaksional. Blok kedua terdiri dari dua partai, Gerindra—yang dipimpin Prabowo Subianto—dan Partai Keadilan Sejahtera, partai Islam konservatif.
Dua partai ini juga beraliansi dengan kekuatan-kekuatan Islam konservatif ekstra-parlementer. Blok kedua ini bertindak sebagai “oposisi” pemerintahan Jokowi. Blok ketiga terdiri dari partai tunggal, Partai Demokrat, yang dikomandoi oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Partai ini mengklaim dirinya sebagai “nasionalis relijius” dan merekrut intelektual-intelektual liberal. Partai Demokrat memandang dirinya sebagai partai yang menjembatani jurang (gap) di antara kelas kapitalis dengan mengakomodir kebutuhan-kebutuhan kapital kecil dan sedang dengan para eks-kroninya.
Meskipun terlihat berbeda, ketiga blok ini menyokong strategi ekonomi hari ini yang telah terjadi lebih dari dua dekade: mendukung pertumbuhan yang dipimpin kapitalis dan, yang lebih baru, menekan upah. Mereka menghindari redistribusi kecuali untuk angka minimal Bank Dunia—jaring pengaman sosial. Dan mereka melakukan apa yang mereka bisa, yakni menjaga agar pembicaraan-pembicaraan pelanggaran HAM masa lalu keluar dari wilayah publik.
Tiga blok yang muncul di tingkat nasional ini seringkali tidak terlihat di tingkat lokal. Berbagai partai secara formal beraliansi dengan siapapun yang bisa membantu mereka terpilih atau mendapatkan posisi—meski mereka justru saling beroposisi di tingkat nasional. Maka menjadi sulit untuk memahami blok mana di tingkat nasional yang meraih kinerja terbaik di pemilihan umum kemarin. Pemilihan presiden tahun depan nampaknya tetap diikuti dua kandidat yang bertarung empat tahun lalu: Jokowi dan Prabowo. Pengumuman formal tentang kandidat presiden akan dilangsungkan Agustus ini.
Maka, di Indonesia, yang terjadi adalah demikian: pilihan tanpa pilihan. Tentu saja ini bukan ciri politik Indonesia kontemporer semata. Di banyak sistem elektoral negara-negara kapitalis, terlebih di era ini, tidak ada tawaran atas pilihan (meski fenomena Bernie Sanders dan Jeremy Corbyn mengindikasikan ada perubahan di beberapa tempat). Namun yang terjadi di Indonesia secara khusus adalah kebuntuan. Karakter totalitarian dan ekstrem atas penindasan di Indonesia—tidak hanya pada organisasi namun juga tradisi rakyat dan ideologi-ideologi progresif masa lalu—berarti bahwa arus perlawanan belum cukup terasa. Hanya kelas kapitalislah, dalam beraneka bentuknya, yang terepresentasikan secara politik. Sedangkan bagi kekuatan rakyat, Indonesia adalah gurun pasir—lingkungan menakutkan bagi tumbuhan apapun untuk berkembang.
Kian lama hal ini terjadi, dengan kondisi kultural dan sosial yang gagal mengakomodir aspirasi generasi muda Indonesia—yang kebanyakan dari mereka bukan bagian dari borjuasi—maka kian besar pula peluang ledakan yang akan terjadi melalui tegangan kelas dan konflik antar generasi.
Penulis:
Max Lane, aktivis sosialis di Australia dan pengarang buku Unfinished Nation: Indonesia before and after Soeharto serta penerjemah tetralogi pulau buruh Pramoedya Antanta Toer ke dalam Bahasa Inggris.
Tulisan ini adalah terjemahan dari https://jacobinmag.com/2018/07/indonesia-elections-joko-widodo-capitalist-class disebarluaskan untuk tujuan pendidikan terutama bagi kelas buruh.