Dalam masyarakat modern saat ini, kerja tidak ada maknanya bagi kelas pekerja. Rutinitas kita bekerja sehari-hari selalu monoton, membosankan dan direndahkan. Kita bekerja bukan untuk mengembangkan potensi sebagai manusia seutuhnya, tapi untuk memperkaya pemilik modal. Waktu kita yang berharga dihabiskan untuk menghasilkan profit bagi kapitalis. Menjadi kelas pekerja telah memaksa kita untuk mendedikasikan waktu dan bahkan jiwa kita untuk kapitalis.
Di Asia, hidup seorang kelas pekerja betul-betul terikat pada kapitalis. Pekerja harus memberikan waktunya bekerja pada kapitalis antara 8-14 jam sehari atau 45-70 jam dalam seminggu hanya untuk upah yang rendah. Pekerja di Hong Kong misalnya, tercatat bekerja selama 50.1 jam/ minggu, sementara di Korea Selatan baru-baru ini jam kerja akan dikurangi menjadi 52 jam/ minggu dari 68 jam sebelumnya.
Di belahan Asia lainnya, pekerja diharuskan bekerja lebih lama. Pekerja garmen di Bangladesh dipaksa untuk bekerja hingga 14-16 jam sehari selama 6 hari berturut-turut. Dalam banyak kasus, kondisi kerja yang buruk diperparah oleh jam lembur yang panjang. Di Jepang, seorang pekerja dapat menghabiskan waktu hingga 80 jam bahkan hingga 159 jam untuk lembur dalam sebulan. Artinya, jam lembur dalam sehari bisa mencapai 6 jam!
Di beberapa negara seperti Indonesia atau Filiipina memang terdapat pembatasan jam kerja tidak lebih dari 8 jam kerja yang diatur dalam undang-undang. Namun jika kita menghitung berapa lama waktu yang dihabiskan untuk pergi dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya, maka waktu total yang dihabiskan dapat mencapai 12-13 jam akibat kemacetan dan jarak tempuh yang jauh seperti di Jakarta dan Manila. Pekerja dapat menghabiskan waktu hingga 5 jam hanya untuk menempuh puluhan kilometer jarak dari rumah ke tempat kerja.
Stres dan kelelahan hasil dari jam kerja yang panjang bukan tanpa resiko kesehatan. Di China di mana rata-rata jam kerja melebihi 60 jam/ minggu, data resmi pemerintah menunjukan tahun 2014 sebanyak 1.600 pekerja mati akibat kelelahan. Sementara seorang pekerja di Jepang tahun lalu dilaporkan meninggal akibat serangan jantung setelah lembur selama 159 jam dalam sebulan.
Jam kerja yang mematikan di Asia terjadi di banyak negara. Di Hong Kong, 19 penumpang tewas ketika bis yang ditumpangi mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu akibat supir bis amat kelelahan akibat mengendarai bis selama 12-14 jam. Kasus serupa terjadi di Indonesia, di mana supir tanki BBM milik PT. Pertamina dilaporkan sering mengalami kecelakaan akibat berkendara lebih dari 12 jam.
Kematian akibat kerja atau ‘kerja sampai mati’ merupakan masalah serius. Di beberapa negara, terdapat istilah yang menunjukan betapa seriusnya masalah itu. Di Jepang, istilah ‘kerja sampai mati’ adalah Karoshi (過労死), di Korea Selatan diistilahkan Gwarosa (과로사/過勞死), sementara di China dikenal dengan istilah Guolaosi (过劳死).
Meskipun tidak ada istilah khusus, namun pekerja garmen di Kamboja dan Indonesia juga mengalami masalah yang sama. Mereka betul-betul bekerja ‘hingga mati’. Banyak kasus pingsan massal dilaporkan terjadi di pabrik-pabrik garmen di banyak negara, seperti di Kamboja dan Indonesia. Di China, belum lama ini kita mendengar kabar pilu seorang pekerja pabrik elektronik Foxconn bunuh diri akibat tidak tahan dengan kondisi kerja yang buruk.
Jam kerja yang panjang tidak membawa manfaat apapun bagi masyarakat.
Kurangnya istirahat akibat jam kerja berlebih dapat menumpuk stres dan kelelahan yang menjadi sumber penyakit. Bertambahnya hormon stres dapat memicu serangan jantung dan stroke, sementara berkurangnya kemampuan metabolisme tubuh akibat kurangnya istirahat dapat memicu diabetes. Kerja berlebih tidak akan membuat pekerja menjadi lebih produktif karena tingkat kognisi dan konsentrasi pekerja justru akan berkurang akibat kelelahan.
Kekurangan tidur dapat berdampak pada kesehatan mental dan membuat seorang pekerja menjadi agresif secara emosional. Pekerja dapat sering bertengkar dengan pasangannya di rumah akibat stres bekerja. Banyak kasus depresi dan kecemasan berlebih (anxiety) dilaporkan terjadi akibat stres. Masalah kesehatan mental ini terlihat dari besarnya angka rata-rata bunuh diri di Korea Selatan yang mencapai 40 orang setiap harinya. Sampai kapanpun, kerja berlebih tidak akan membawa manfaat apapun.
Meningkatnya kompetisi di bawah komando pasar bebas kapitalisme hanya akan membawa dampak buruk bagi rakyat pekerja. Perlombaan menekan upah serendah-rendahnya hanya akan menciptakan kondisi kerja yang lebih buruk. Pekerja dipaksa untuk bekerja lebih keras dan lebih lama untuk tidak mendapatkan apa-apa selain kematian. Dengan memperpanjang jam kerja, kapitalis tidak hanya merampas hasil kerja kita, namun juga merampas kehidupan kita.
Bekerja hingga melampaui batas kemampuan fisik dan mental telah terbukti secara medis berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Asia Transnational Corporation (ATNC) Monitoring Network, sebuah aliansi internasional serikat buruh di Asia, menuntut pemerintah di negara-negara Asia untuk membatasi jam kerja maksimal 6 jam dalam sehari. Untuk dapat menjaga kesehatan fisik dan mental, kita butuh waktu istirahat minimal 8 jam per hari.
Upaya mengurangi jam kerja juga harus memperhitungkan waktu yang harus ditempuh dalam perjalanan ke tempat kerja dan kepulangan. Kita tidak akan mempunyai sisa waktu yang cukup untuk beristirahat jika waktu kita banyak dihabiskan untuk perjalanan.
Kami juga menuntut upah layak, tidak hanya sekedar untuk bertahan hidup, tapi juga untuk mengembangkan potensi kita seutuhnya sebagai manusia yang bermartabat. Dengan upah layak, maka kita tidak perlu lagi untuk mengambil lembur atau kerja sampingan untuk menambah pendapatan. Kita juga tidak lagi membutuhkan ‘jam kerja yang mematikan’.
Kita pernah memenangkan perjuangan mengurangi jam kerja sejak ‘Gerakan 8 Jam Kerja’ pada 1 Mei 1886 yang terus konsisten berlawan. Namun, kemenangan kita saat ini tengah dirampas dengan semakin bertambahnya jam kerja hingga pada tingkat sebelum ‘Gerakan 8 Jam Kerja’ dimenangkan. Kita tidak lagi bisa berdiam diri melihat kualitas hidup semakin menurun hingga pada taraf kematian. Kita harus merebut kembali kemenangan kelas pekerja!
Atas nama Asia Transnational Corporation (ATNC) Monitoring Network
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Nasional (KSN) tergabung dalam Asia Transnational Corporation (ATNC) Monitoring Network (Jaringan Pengawasan Perusahaan Transnasional Asia) sebuah aliansi serikat buruh internasional di Asia.