Catatan ringan tentang Hari HAM dan Buruh Konstruksi!
Para buruh konstruksi yang bekerja dalam sebuah proyek infrastruktur kerap kali tak terpenuhi hak-hak dasarnya. Mereka bisa bekerja dalam 12 jam per hari, upah yang rendah, hak keselamatan dan kesehatan kerja yang terabaikan, dan berbagai persoalan lainnya. Demikian pula mereka yang bekerja pada proyek konstruksi untuk berbagai event olah raga internasional, kondisinya tak lebih baik.
Menurut catatan BWI, dalam beberapa kali penyelenggaraan Piala Dunia –yang selalu diikuti dengan pembangunan stadion baru atau merenovasi stadion lama– perlakuan terhadap buruh konstruksi sedemikian buruknya. Pada Piala Dunia 2010, Afrika Selatan, pekerja konstruksi stadion mogok kerja akibat tuntutan kenaikan upah. Setidaknya, sebanyak 70.000 buruh yang menyelesaikan pembangunan stadion di Afrika Selatan berhenti bekerja karena tuntutan kenaikan upah sebesar 13 persen gagal dipenuhi oleh pihak pengembang. Serikat Buruh memprotes bayaran sebesar 1,5 dolar AS (Rp 15.000) per jam. Ada pun upah minimum di negara di ujung selatan benua Afrika itu sekitar 200 dolar AS (Rp 2 juta) per bulan.
Pada Piala Dunia 2014 di Brasil masalah juga terjadi. Para pekerja konstruksi di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, yang menjadi stadion utama penyelenggaraan Piala Dunia 2014 di Brasil, mengelar dua kali mogok kerja. Tuntutan mereka, selain terkait upah, juga mendesak perusahaan konstruksi yang memepekerjakan mereka memperbaiki kondisi kerja. Serikat Pekerja Konstruksi setempat menyatakan bahwa perusahaan melalaikan janji untuk memasukkan keluarga pekerja dalam skema tunjangan kesehatan perusahaan. Pemogokan kedua, yang diikuti tak kurang dari 2.000-an pekerja yang merenovasi bangunan Stadion Maracana dipicu juga oleh kecelakaan kerja yang menyebabkan seorang pekerja terluka bakar seusai ledakan di salah satu sisi bangunan.
Piala Dunia Rusia yang berlangsung tahun ini menyisakan berita tak sedap. Salah satu isu yang sempat mengganggu persiapan Piala Dunia 2018 adalah kabar tentang tewasnya seorang pekerja migran dari Korea Utara di dalam kontainer yang mereka gunakan untuk istirahat dan tidur –kematiannya diduga akibat serangan jantung. Para buruh tersebut hanya diberi upah 9 Poundsterling untuk kerja selama 17 jam/hari. Mereka dipaksa untuk tidur dalam barisan kontainer beku yang dipagari kawat berduri, tak jauh dari lokasi stadion. Para buruh migran tersebut tidak pernah mendapatkan jatah hari libur dan terjebak dalam komitmen untuk kontrak 10 tahun. Selain karena serangan jantung dan berbagai penyakit lainnya, kematian buruh konstruksi disebabkan tersengat arus listrik hingga terjatuh dan menghujam ke beton.
Bagaimana dengan Qatar sebagai tuann rumah Piala Dunia 2022? Sekretaris Jenderal Amnesty International, Salil Shetty dalam laporan bertajuk `The Dark Side of Migration: Spotlight on Qatar’s construction sector ahead of the World Cup` menyebutkan buruknya perlakuan terhadap pekerja migran di negara itu. Negeri minyak super kaya tersebut memberlakukan sistem yang lazim dikenal sebagai “kafala”. Kafala merupakan sistem sponsor tenaga kerja yang mewajibkan pekerja asing mendapat izin majikan jika ingin pindah kerja atau meninggalkan negeri itu.
Amnesty International menyebutkan kafala sebagai perbudakan modern yang menjadikan buruh migran tersandera oleh majikan, dipaksa tinggal di penampungan yang kotor, harus membayar biaya perekrutan tenaga kerja yang mahal, upah dipotong, dan paspor disita.
BAGAIMANA NASIB BURUH DI TEMPATMU BEKERJA? PABRIK KERTAS, PABRIK GARMEN, PABRIK HANDPHONE, PABRIK OLI, SOPIR DI PELABUHAN?