Perjuangan Kita

Gerakan Buruh dan Mahasiswa Berjuang Bersama Bangun Pendidikan Murah Berkualitas

Hari Buruh Internasional nanti berdekatan dengan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2019. Di Hari Buruh Internasional atau May Day Gerakan Buruh Bersama Rakyat, sejumlah mahasiswa atau bahkan pelajar turut turun ke jalan, mendukung tuntutan buruh. Begitu juga, di Hari Pendidikan Nasional, elemen buruh di GEBRAK juga akan terlibat mendukung tuntutan mahasiswa.

Masa depan sebuah negeri dan umat manusia secara keseluruhan sangat bergantung dengan seberapa bagus dan meluasnya peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Mahalnya tingkat pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah meminggirkan potensi mayoritas anak Indonesia untuk meningkatkan kapasitas diri dan kebudayaannya. Anak-anak buruh terpinggirkan dari kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi.

Pun tak terjaminnya asupan gizi bagi anak-anak buruh yang baik dalam masa pertumbuhan akan menghasilkan kualitas fisik yang tak paripurna. Prespektif tentang pendidikan yang universal yang mampu diakses oleh semua lapisan harus terus menjadi platform gerakan buruh dan rakyat. Karena perlunya gizi bagi anak-anak Indonesia, gerakan buruh tidak boleh hanya berhenti dan berpuas diri dengan adanya BPJS. Perjuangan peningkatan pendidikan dan kesehatan adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Kesehatan dan Biaya Mahal yang Menghapus Kesempatan Anak Berkembang

Pendidikan di Indonesia belum juga menunjukkan kabar yang sangat menggembirakan. Salah satu ukurannya adanya problem literasi yang akut. Berdasarkan penelusuran dalam laporan Indonesia Economic Quarterly Juni 2018, sebagaimana juga dinyatakan oleh Bank Dunia, terdapat 55,4% orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan dianggap buta huruf secara fungsional karena tingkat prestasinya di bawah 2. Artinya pelajar Indonesia yang mengikuti The Programe for International Student Assessment (PISA) bisa membaca, tapi tidak mengerti maknanya. Sebagai pembanding negara ASEAN seperti Vietnam saja angkanya di bawah 10 persen. Angka ini menunjukkan terjadinya krisis literasi yang tidak bisa disepelakan.

Pada tahun 2015 tercatat, masyarakat Indonesia rata-rata membaca hanya 2-4 jam per hari. Angka ini sangat jauh di bawah standar badan PBB UNESCO yang meminta 4-6 jam per hari. Merujuk laporan Most Littered Nation in The World tahun 2016, di Eropa atau Amerika, khususnya anak-anak, dalam setahun mampu melahap 25-27% buku yang beredar. Di Jepang angkanya berada di kisaran 15-18%. Sementara di Indonesia angka sungguh sangat memprihatinkan, hanya berada di bilangan 0,01%. Kondisi literasi digital di Indonesia juga tak kalah buruknya. Tercatat hanya 3% rakyat Indonesia yang mendayagunakan ponselnya untuk kebutuhan membaca.

Mahalnya dunia pendidikan di Indonesia juga menjadi problem serius. Salah satu ukuran tidak terjangkaunya pendidikan tinggi di Indonesia dapat dilihat dari struktur komposisi tenaga kerja di Indonesia. Tenaga kerja lulusan SD mendominasi pangsa tenaga kerja Indonesia. Dalam kurun waktu 2014 hingga 2018, setidaknya seperempat dari tenaga kerja merupakan lulusan SD. Pada 2014, terdapat 28,75 persen tenaga kerja lulusan SD. Angka tersebut terus menurun hingga mencapai 25,21 persen pada 2018. Penyumbang terbanyak kedua yaitu lulusan SMP. Komposisi tenaga kerja yang merupakan lulusan sekolah menengah pertama tersebut berkisar antara 17-18 persen setiap tahunnya, bila ditotal komposisi antara lulusan SD dan SMP mencapai 43 persen. Indonesia memang masuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal menurut survey yang dilakukan oleh HSBC.

Terkait masalah kesehatan, isu stunting alias gizi buruk sempat menarik perhatian serius publik. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8%. Dalam indeks kesehatan global terakhir, Indonesia berada di posisi ke 101 dari 149 negara menurut laporan The Legatum Prosperity Index 2017. Bank Dunia mencatat, indeks sumber daya manusia (Human Capital Index/HCI) Indonesia sebesar 0,53 atau peringkat ke-87 dari 157 negara. HCI Indonesia yang berada di angka 0,53 mengindikasikan pemerintah tidak memberi investasi yang cukup untuk meningkatkan kualitas SDM melalui kesehatan dan pendidikan.

Untuk itu, pendidikan murah dan berkualitas penting. Banyak orang tua mahasiswa adalah buruh. Begitu juga, buruh ingin anak-anaknya mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak-anak lain demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi memperjuangkan hal itulah, buruh dan mahasiswa akan berada dalam satu barisan dalam Hari Buruh Internasional dan Hardiknas.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button