Dinamika BuruhOmnibus Law

RUU CIPTA KERJA: AWAL LANGKAH PENUH MASALAH

Pemerintah resmi menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu, 13 Februari 2020. Draf RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat berisi 15 bab dan 174 pasal. Draf itu mudah didapatkan melalui aplikasi percakapan online, tetapi ironisnya tidak ada satu pun laman resmi pemerintah atau DPR yang menyebarluaskan draf maupun Naskah Akademik RUU Cipta Kerja.

Hal tersebut melanggar salah satu prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu asas keterbukaan. Terkait asas itu, Pasal 170 Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011 mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan.

Tidak tersedianya kanal resmi untuk mengakses RUU Cipta Kerja menjadikan ruang partisipasi publik tertutup. Padahal, partisipasi masyarakat merupakan hak yang dijamin dalam Pasal 96 ayat (1) UU 12/2011. Proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang dilakukan oleh pemerintah pusat hanya melibatkan segelintir elite, seperti kepala daerah dan asosiasi pengusaha. Mengingat RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan rentang substansi amat beragam, seharusnya pemerintah sejak awal mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi pihak terdampak, untuk memberikan masukan.

Kesan tertutup dalam penyusunan RUU Cipta Kerja tersebut mengakibatkan gelombang penolakan besar-besaran dari berbagai kelompok masyarakat. Alih-alih mengubah pendekatan, pemerintah justru merespons dengan memposisikan kelompok pengkritik sebagai pihak yang menolak terciptanya kemudahan berusaha di Indonesia. Narasi publik yang disampaikan pemerintah dengan meminta aparat penegak hukum dan intelijen untuk melakukan pendekatan pada organisasi yang kritis pada RUU Cipta Kerja mengurangi kualitas diskusi yang terjadi di masyarakat.

Di sisi lain, DPR tidak menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasan. Adanya gelombang penolakan publik tidak membuat DPR kritis terhadap pemerintah. Sebaliknya, sejumlah Anggota DPR justru mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkesan memberikan karpet merah kepada pemerintah bahwa mereka akan segera mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

Tiga Langkah Mundur Reformasi Regulasi dalam RUU Cipta Kerja

Pertama, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas dalam pembentukan perundang-undangan, yaitu asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”. RUU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan rumusan karena dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya. Mengingat pasal-pasal yang harus direvisi berasal dari 79 UU, seharusnya penyusun RUU Cipta Kerja menggunakan standar yang sudah diatur dalam UU No. 12/2011. Asas kedua yang berpotensi dilanggar adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU Cipta Kerja yang mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah oleh RUU CIpta Kerja harus disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja dalam jangka waktu 1 bulan. Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu 1 bulan merupakan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis. Selain itu, target pengerjaan RUU Cipta Kerja selama 100 hari hingga pengesahan juga akan menambah kompleksitas permasalahan mengingat tidak mudah bagi pemangku kepentingan untuk bisa dengan cepat menguasai materi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.

Kedua, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini (terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah) menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang akan kondisi regulasi kita*. Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper-regulasi. Alih-alih menggunakan pendekatan omnibus ini sebagai momentum pembenahan, pemerintah sebagai pengusul justru semakin menambah beban penyusunan regulasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan. Yang patut menjadi catatan juga adalah penyusunan peraturan pelaksana menunjukkan dominasi eksekutif yang semakin menjauhkan proses pembahasan dari publik mengingat penyusunan dan pembahasan regulasi di lingkup eksekutif berlangsung dalam ruang yang lebih tertutup ketimbang undang-undang. Perlu diwaspadai bahwa pendekatan omnibus hanyalah merupakan pintu masuk bagi pemerintah dan kelompok kepentingan tertentu untuk mengatur berbagai substansi RUU Cipta Kerja melalui proses pembahasan yang jauh dari jangkauan publik.

*Ketiga, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi serta melanggar ketentuan UU 12/2011.* Terdapat dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Pertama, Pasal 170 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang. Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang.

Kedua, pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, PSHK mendesak agar:1. DPR dan Presiden segera mempublikasikan draf RUU Cipta Kerja melalui media elektronik, media cetak, forum tatap muka atau dialog langsung, dan/atau jaringan dokumentasi dan informasi hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 171 Perpres 87/2014;

2. DPR dan Presiden membuka seluas-luasnya kesempatan bagi publik untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pembahasan RUU dengan cara membuka ruang informasi dan forum penyampaian masukan yang mudah diakses oleh masyarakat;

3. DPR dan Presiden harus memastikan peraturan pelaksana sebagai implementasi RUU Cipta Kerja tidak memperparah kerumitan regulasi yang selama ini terjadi, serta harus memastikan bahwa semua ketentuan yang bertentangan dengan asas/prinsip peraturan perundang-undangan maupun Putusan MK harus dihapus; dan

4. DPR harus menjalankan perannya sebagai lembaga legislatif sekaligus penyeimbang kekuasaan sesuai mekanisme check and balances terhadap Presiden, serta menyuarakan kepentingan publik yang kritis terhadap RUU Cipta Kerja. Pengimbangan peran DPR terhadap Presiden menjadi kunci untuk mencegah adanya sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden yang jika dibiarkan berlarut-larut akan menciptakan otoritarianisme.

 

Siaran pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jumat 14 Februari 2020

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button