Tulisan ini sedikit datang terlambat. Seharusnya ia dibuat pada bulan November, tanggal kematiannya, atau di awal bulan ini, dimana hari kelahirannya dicatatkan. Perihal kelahirannya itu, sebetulnya tidak tersedia sumber yang akurat. Berbagai situs cuma menyebut bulan Desember 1985. Tanpa tanggal.
Bila akhirnya saya baru bisa menulisnya sekarang, ketika Desember akan segera rampung, tentu ada sedikit rasa bersalah mengendap. Seolah saya telah begitu saja melupakannya. Tetapi tak apa, toh cerita kepahlawanan adalah baka, ia bisa ditulis kapan saja, akan selalu relevan dibaca sepanjang masa.
Saya ingat, bertahun silam saya pernah bersumpah kepada diri sendiri. Jika saya memiliki seorang anak lelaki, saya akan memberinya nama Faris Ouda. Ada ribuan nama cantik tersedia di dunia, tetapi bocah Palestina ini terlalu indah untuk ditepikan. Bocah dari Gaza yang memiliki semua syarat untuk dicintai.
Pada penghunjung Oktober tahun 2000, Associated Press mengunggah foto yang menggambarkan bocah kurus berdiri sendirian. Dia menggenggam batu, menghadang tank lapis baja Israel. Foto ini benar-benar mengejutkan dunia. Dengan cepat kabar ini menyebar luas, menjadi buah bibir. Disanalah Faris Ouda mulai kenal.
Itu adalah Gaza pada milenia anyar, ketika Intifada Kedua meledak di Palestina. Negeri yang sedang membara, berada pada suhu didih politik. Penduduk tanah jajahan sekali lagi berkelahi dengan keras melawan penjajah. Jalanan disesaki bentrokan, hujan batu turun deras, selaras dengan derita yang menumpuk di rumah-rumah penduduk.
Sejarah Intifada [pemberontakan] dimulai lewat pemogokan umum dan pemboikotan semua hal yang terkait Israel. Pusat pemberontakan berada di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Generasi Palestina pasca kekalahan Perang Enam Hari 1967, memberikan rangkuman final bagi kemarahan yang ditimbun selama 20 tahun pendudukan militer.
Populasi tanah jajahan bangkit menolak kontrol apapun atas perkembangan ekonomi, sosial dan politik mereka. Dua dekade mengalami kelangkaan pekerjaan, bergantung secara ekonomi kepada penjajah, menjadi tahanan di tanah air sendiri, dibunuhi satu persatu, dibayar setengah dari upah pekerja Israel dan dikenai pajak lebih tinggi. Memberontak jadi keniscayaan.
Saat Intifada [Pertama] pecah, Faris Ouda masih berumur dua tahun. Mungkin ayahnya ikut berkelahi di gang-gang sempit Gaza, paman serta bibinya bisa jadi ada dalam kerumunan kamp pengungsian yang menyiapkan batu untuk dilemparkan ke jeep-jeep serdadu Israel. Atau ibunya dibekap khawatir saat menunggu kabar sanak famili sembari menimang Faris kecil.
Faris Ouda kemudian tumbuh dan menikmati seri kedua dari Intifada. Ya, menikmatinya, kata itu saya pilih dengan sadar. Pejuang dimanapun berada akan menikmati aksi perlawanannya. Anam, ibunya bercerita, jika tidak ada pertempuran dengan pasukan Israel di Netzarim, sebuah pos terdepan di Gaza, Faris akan pergi mengunjungi Karni, titik persimpangan ke Gaza yang dikendalikan oleh tentara penjajah. Dia menjemput resiko, menikmati untuk semua tindak tanduk itu.
Selalu setiap bentrokan pecah, Faris Ouda akan berdiri paling depan. Keberanian seorang bocah ialah yang paling murni, ada kebulatan tekad dan kenaifan di dalamnya. Ketika ibunya bertanya kenapa dia selalu berdiri paling depan saat menghadapi tentara Israel, Faris selalu menjawabnya singkat,
“Karena aku tidak takut dengan mereka.”
Untuk mencegahnya, ayahnya kerap memukulnya, bahkan menguncinya di kamar. Tetapi Faris selalu punya jalan untuk tetap tiba di jalanan. Dia melompat dari jendela, atau menemukan cara lain guna meloloskan diri. Sesuatu yang kelak membuatnya jadi legenda.
Pada 8 November 2000, atau sepuluh hari setelah foto dirinya mendunia, Faris Ouda terbunuh di Gaza. Tentara Israel menembak lehernya. Peluru bukanlah lawan sepadan buat bocah 14 tahun, terlebih bila itu menyerang bagian vital tubuhnya. Yasser Arafat selaku pimpinan Otoritas Palestina menyampaikan pidato penghormatan di sekolah Faris Ouda,
“Ya, anak-anak Palestina. Rekan sebaya, Saudara dan Saudari Faris Ouda. Kami bangga padamu. Yang mempersembahkan ketabahan dan pengorbanan atas rekan mu, Faris Ouda.”
Sembilan belas tahun berlalu sejak Faris Ouda menghembuskan nafas terakhir. Intifada Kedua pun telah lama usai, tempat dimana Faris Ouda menemukan keabadian. Marwan Barghouti ditangkap dan Ahmad Saadad dipenjara. Pemimpin-pemimpin perlawanan yang dianggap paling berbahaya.
Cerita Faris Ouda adalah satu dari sedikit hal yang tak fana di dunia ini. Bagi mereka yang percaya penjajahan dan penindasan mesti dienyahkan, nama Faris Ouda telah menjadi sinonim dari kepahlawan. Diperlukan sosok 14 tahun untuk dunia paham sekalilagi, membiarkan penindasan terjadi, jauh lebih tak bermoral dari penindasan itu sendiri.
****