Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal Mulyono sebaiknya mengabaikan tantangan provokatif mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo dan elite politik lain yang memerintahkan jajarannya menonton bareng film “Pengkhianatan G30S/PKI” setiap tanggal 30 September.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa pilihan untuk menonton bareng atau tidak film tersebut adalah hak setiap warga. TNI seharusnya tidak dipaksa mengambil tindakan yang rawan disalahgunakan oleh kelompok elite politik tertentu.
“Mempersoalkan sikap Panglima TNI dan KSAD dengan kesan seolah-olah takut dan membuat prajurit menjadi penakut jika tidak memerintahkan nonton bareng film G30S/PKI, itu adalah upaya politisasi TNI. Prajurit di mana pun, dan juga masyarakat tak bisa dipaksakan untuk menerima satu versi sejarah. Mereka sudah mengerti adanya versi sejarah yang berbeda. Adalah hak setiap orang apakah mau menonton film G30S/PKI atau merujuk film dan literatur alternatif lainnya” kata Usman.
“Tahun lalu, semasa Panglima TNI Gatot Nurmantyo, ada kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh isu ini sehingga terlibat aksi penyerangan dan perusakan kantor Yayasan LBH Indonesia. Ini adalah intimidasi terhadap pembela HAM. Brutalitas pelaku membuat aparat keamanan kewalahan, baik anggota Polri maupun prajurit TNI yang ikut mengamankan. Beberapa polisi bahkan mengalami luka-luka. Tapi pelaku tidak dihukum. Tidak lama setelah Gatot membuat pernyataan anti-PKI baru-baru ini, sekelompok massa membubarkan Aksi Kamisan di Malang dan Surabaya, pada 27 September, dengan menuduh mereka sebagai “antek PKI”,” lanjut Usman.
“Di masa lalu, setelah diproduksi pada 1981, pemerintah mewajibkan film ini ditonton semua warga negara.Pada masa Reformasi, Menteri Pendidikan era Presiden BJ Habibie, Juwono Sudarsono, membentuk tim khusus untuk meninjau ulang seluruh buku sejarah dalam versi G30S/PKI. Menteri Penerangan era Habibie pula, yaitu Letnan Jenderal (purn) Yunus Yosfiah, mengakhiri keharusan pemutaran tahunan atas film ‘Penghianatan G30S/PKI’. Ini adalah bukti bahwa sejarah peristiwa 30 September 1965 ditinjau ulang dan direvisi oleh pemerintah”.
Survei nasional SMRC 2017 dan 2018 menemukan bahwa mayoritas warga, 86 persen, tidak setuju bahwa PKI sedang bangkit. Yang setuju hanyalah 12 %. Jadi sebenarnya isu anti-PKI ini kecil, tapi dibesar-besarkan untuk membela kepentingan elite-elite yang membesar-besarkannya, menyudutkan korban dan penyintas 1965, bahkan membungkam aksi aktivis, dosen, dan petani yang tengah memperjuangkan hak-hak dasar mereka. Contoh, petani Budi Pego di Banyuwangi yang dituduh dan divonis penjara menyebarkan ideologi komunisme usai memprotes pembangunan tambang emas di daerah tersebut. Jadi ini adalah hal kecil yang dibesar-besarkan.
Amnesty International Indonesia
Siaran Pers
28 September 2018