Dukungan Solidaritas ATNC untuk Perjuangan Rakyat Thailand

Beberapa bulan terakhir ini, gelombang demonstrasi telah menyapu Thailand. Ratusan ribu demonstran, kebanyakan mahasiswa, turun ke jalan untuk mengajarkan apa itu demokrasi terhadap Perdana Menteri Prayut Chan-O-Cha. Mantan Jenderal yang kini mejabat itu menerapkan kebijakan-kebijakan anti-demokrasi terhadap rakyat Thailand.
Para demonstran telah jengah melihat bagaimana negara dikelola di bawah Prayut Chan-O-Cha. Pemerintahan yang dikuasai oleh kekuatan militer itu dianggap tidak kompeten lantaran mempraktekan korupsi dan membatasi ruang-ruang demokrasi.
Kelompok gerakan di Thailand menuntut tiga hal untuk mengubah struktur kekuasaan di Thailand: 1) pembubaran parlemen, 2) amandemen Konstitusi yang didikte oleh kelompok militer, dan 3) penghentian intimidasi terhadap kelompok pro-demokrasi.
Gelombang protes hari ini merupakan kelanjutan dari perlawanan yang telah lama berlangsung. Hal ini terutama gerakan “Kaos Merah” pada 2010 yang telah menarik perhatian dunia internasional. Namun, respon dari rezim Prayut masih tetap sama: tindakan represif yang brutal terhadap sejumlah aksi-aksi protes.
Saat ini, Prayut menetapkan status ‘Keadaan Darurat’ untuk membungkam suara-suara protes. Kota Bangkok saat ini menjadi arena pertempuran antara polisi yang semakin agresif dengan kelompok demonstran. Pihak kepolisian dan militer bertindak layaknya predator mencari mangsa: mereka memukuli, menyerbu dan menangkap massa aksi tanpa pandang bulu.
Menurut kelompok “Pengacara Thailand untuk Hak Asasi Manusia” (Thai Lawyers for Human Rights), hingga 18 Oktober yang lalu terdapat 81 demonstran dari berbagai latar belakang, seperti satpam, pelajar, dan supir truk yang ditahan. Sementara itu, permohonan pembebasan beberapa aktivis pro-demokrasi yang sebelumnya telah ditangkap juga ditolak. Beberapa di antaranya, seperti
- Arnon Nampa (pengacara hak asasi manusia)
- Ekachai Hongkangwan (mantan tahanan politik lèse-majesté)
- Jatupat Boonpattararaksa (pembela hak asasi manusia dan mantan tahanan politik former lèse-majesté)
- Panupong Jadnork
- Panusaya Sithijirawattanakul (pimpinan mahasiswa)
- Parit Chiwarak (pimpinan mahasiswa)
- Somyot Pruksakasemsuk (aktivis buruh dan mantan tahanan politik lèse-majesté)
- Prasit Karutarote (pimpinan mahasiswa)
Atas situasi di atas, kami mengutuk tindakan represif pemerintah Thailand terhadap gerakan pro-demokrasi.
Kami menyatakan dukungan terhadap gerakan protes di Thailand, dan menuntut pemerintah Thailand:
- Cabut segera status ‘Keadaan Darurat’ dan hentikan represi terhadap protes kelompok pro-demokrasi
- Bebaskan aktivis-aktivis pro-demokrasi dan semua tahanan politik
- Hentikan intimidasi terhadap apapun aktivitas pro-demokrasi
- Hentikan dominasi kekuasaan militer dan adakan pemilihan umum yang terbuka
- Cabut undang-undang yang represif, termasuk undang-undang lèse-majesté[i]
Pernyataan ini didukung oleh
- Korean House for International Solidarity (KHIS), Korea
- Asia Monitor Resource Centre (AMRC), Hong Kong
- Sedane Labour Resource Centre (LIPS), Indonesia
- Printing, media and information workers union (PPMI), Bekasi, Indonesia
- Bandung Legal Aid, Indonesia
- Street Library, Nunukan, Indonesia
- Solidaritas Perempuan, Jakarta, Indonesia
- Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Indonesia
- Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS), Network
- Worker’s Initiative, Kolkata, India
- Joy Hernandez, labor rights and tax justice activist, Philippines
- Apo Leong, labor rights activist, Hong Kong
- Bruce Van Hois, labor rights activist, Hong Kong
- Suisse Solidar, Hong Kong office
- Textile and Garment Workers Federation (TGWF), Bangladesh
- Globalization Monitor, Hong Kong
- Serve the People Association (SPA), Taiwan
- Persatuan Sahabat Wanita Selangor, Malaysia
- North South Initiative, Malaysia
- Centre for Worker Education, India
- Center for Alliance of Labor and Human Rights (CENTRAL), Cambodia
[i] Undang-undang lèse-majesté mengatur tentang aturan khusus untuk mempertahankan kehormatan pimpinan negara dengan Lese Majeste. Hukum yang diatur dalam Article 112 ini mengatur bahwa “siapa saja yang menghina atau mengancam raja, ratu, keturunan atau kerabatnya, akan dikenai penjara hingga 15 tahun.” Baca selengkapnya di artikel “Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP, Lese Majeste ala Indonesia”, https://tirto.id/cD6j