Buruh menolak Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja tentang pemberian THR di masa pandemi COVID-19 dan mendesak menaker mencabut himbauan itu. Buruh menilai surat tersebut memberi celah pengusaha tidak membayar THR, bertentangan dengan hukum, dan untuk kesekian kalinya mendiskriminasikan buruh demi pengusaha.
Kementerian Tenaga Kerja pada 6 Mei 2020 menerbitkan Surat Edaran yang isinya member peluang perusahaan untuk, sebagaimana tertuang dalam pasal 2, (a) menyicil THR, dan (b) menunda pembayaraan THR. Selain itu, Kemenaker juga mengharapkan pembentukan posko THR di masing-masing provinsi.
Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menganggap aturan itu memberi celah pengusaha tidak membayarkan THR. Padahal, belum tentu semua pengusaha tidak mampu membayar THR. Meskipun disebutkan penundaan atau cicilan pembayaran THR berdasarkan kesepakatan, tidak semua buruh memiliki perwakilan atau serikat yang kuat dan berintegritas untuk mewakili perundingan. Terlebih, maraknya outsourcing dan sistem kontrak menghalangi buruh membentuk serikat. Alhasil, banyak tidak ditemukan kesetaraan dalam perundingan dan yang dibutuhkan adalah regulasi untuk melindungi kelompok yang lemah.
Alasan kedua, penerbitan SE soal THR di masa COVID-19 patut diduga sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. SE itu bisa digugat secara perdata. Kewajiban perusahaan membayarkan THR tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 6 tahun 2016 dan PP Pengupahan no 78 tahun 2015. Kedua produk hukum itu juga tidak mengizinkan penundaan atau pembayaran THR dengan cicilan. Alhasil, surat edaran tersebut bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi. “SE tidak bisa menjadi dasar hukum karena bukan peraturan perundang-undangan tapi prakteknya SE dijalankan seakan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua Departemen Advokasi dan Hukum KPBI Nelson Saragih pada Kamis, 7 Mei 2020.
Selain itu, SE ini kembali mendiskriminasikan buruh dan menguntungkan perusahaan. Sebelumnya, Kemenaker juga mengeluarkan surat edaran yang memberi ruang buruh dirumahkan dengan upah dikurangi. “Dalam situasi sulit, bukannya memperketat perlindungan buruh dan memastikan pembayaran THR, malah memperlonggar aturan hukum demi perusahaan,” kata Ketua Umum KPBI Ilhamsyah. Padahal, THR dapat membantu buruh untuk melewati masa-masa sulit. Terlebih, data Kemenaker mencatat setidaknya 2,8 juta buruh dirumahkan atau di-PHK akibat pandemi.
Terakhir, KPBI juga mempertanyakan soal pembukaan posko THR. Sebab, dalam tahun sebelumnya dan situasi normal, KPBI masih menemukan perusahaan yang ingkar dengan THR meski sering Kemenaker membuka posko THR. KPBI pernah melaporkan pelanggaran itu. “Tidak satupun laporan yang kita masukan ke kemenaker ditindaklanjuti dan perusahaan yang melakukan pelanggaran mendapatkan sanksi,” ungkap ilhamsyah.
KPBI mendesak agar pemerintah memperkuat perlindungan terhadap buruh di tengah masa-masa pandemi. Perlindungan itu dapat berbentuk penjatuhan sanksi bagi pengusaha yang tidak membayar upah buruh selama pandemi dan penerbitan aturan-aturan yang melindungi buruh. Dengan begitu, buruh dan keluarganya tidak terlempar pada jurang kemiskinan.