Pagi itu Gunawan tiba di kantor Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Mungkin itu pukul 7.30 pagi. Kali ini air muka Gunawan tampak kepayahan. Rambutnya tidak tersisir rapi, matanya menggantung. Lelaki asal Pemalang itu memang kurang tidur.
Siang dan malam bermukim di tenda, terhitung sudah seminggu tanpa jeda Gunawan berjaga di muka pabrik Hansae. Bisa jadi dia salah satu buruh yang paling rajin bersiaga. Pabrik sendiri sejak awal Mei sedang bersengketa dengan buruh-buruh.
Malam sebelumnya, dalam satu kesempatan persuaan, Gunawan menututurkan perjalanan hidupnya. Demikianlah, pada usia dua belas tahun ia sudah kehilangan ayah tercintanya.
“Sejak kelas enam SD saya mulai belajar bekerja. Sejak ayah meninggal. Saya belajar menjahit. Saya bekerja ikut paman sepulang sekolah.”
Itulah riwayat kerja Gunawan kali pertama. Ayahnya yang kuli bangunan meninggal terlalu cepat. Dalam struktur masyarakat tradisional kerap kali anak lelaki tertua harus mengambil alih tanggungjwab, atau setidaknya menjadi mandiri walau dia masih kelas enam SD.
Kelak Gunawan akan benar-benar membenamkan diri dalam dunia jahit-menjahit. Satu keterampilan yang membuatnya tiba ke pelataran ibukota, mendapatkan pekerjaan di Hansae sejak 2013. Berbekal ijazah SMP, pada usia 18 tahun, Gunawan muda sudah masuk ke gelanggang industri.
Selepas mematikan Mobile Legend yang baru dimainkan dan mengusir serangan ganas nyamuk, anak kedua dari empat bersaudara ini bertutur awal keterlibatannya dengan serikat buruh,
“Tahun 2015 itu. Awalnya cuma ngantarin pacar ke pertemuan-pertemuan serikat. Ketemu Bu Jum atau Mbak Dian.”
Dua nama yang disebutnya adalah pengurus FBLP.
“Saya awalnya gak terlalu paham. Pacar saya yang aktif. Pernah juga diajak siaran di Marsinah FM. Tapi gak bisa banyak ngomong.”
Pada bulan April 2019 Hansae 3 berhenti beroperasi. Sebagaimana kisah di banyak tempat, buruh-buruh menjalani hidup dan selanjutnya disatukan oleh nasib. Perubahan situasi di Hansae mendorong buruh-buruh menyatukan barisan. Berniat memastikan hak pesangon sesuai ketentuan.
Disitulah Gunawan berubah dari kelas pekerja biasa, menjadi aktivis buruh. Perubahan seperti ini kerap kita temukan dalam kisah rakyat kebanyakan. Orang pintar bilang, “keadaanlah yang menentukan kesadaran”.
Sejak 8 Mei 2019, saat tenda juang pertama kali didirikan, sejak itu pula Gunawan berteguh sikap. Dunianya berarak, tak lagi sesempit obras, jahit dan gaji bulanan. Dia kini menjejakkan kaki di panggung baru: perjuangan kelas buruh.
Setiap pekan sekurang-sekurangnya dia akan berjaga di tenda sepanjang 4 hari. Pelan-pelan pemahamannya pun terkerek naik,
“Sekarang saya jauh lebih paham. Saya sudah masuk Bambu, Barisan Maju Buruh. Ini grup organiser di FBLP. Artinya nanti kalau saya dapat kerja lagi, di tempat kerja baru saya harus mengorganisir kekuatan buruh juga.”
Ketika ditanya perlunya keberadaan partai berbasis buruh, lelaki yang suka menyantap jengkol dan hobi bermain futsal ini menjawab,
“Saya kok setuju ya. Harus ada itu. Buruh harus punya partai politiknya juga”.
Lapisan-lapisan terbawah masyarakat seringkali meraih pemahaman baru ketika perjuangan kelas berkecamuk. Disini, di pelataran pabrik Hansae, Gunawan menjadi salah satunya.
****