Dari Islamophopbia, Xenophobia hingga Belajar Mencintai Sesama Kelas Pekerja

Sumber : dw.com – German professor under police protection for stance on Islamophobia ( Demonstrasi Melawan Islamophobia di Prancis 2019 )

 

Beberapa waktu lalu, PBB menetapkan Hari Melawan Islamophobia. Islamophobia adalah wabah yang melanda Eropa dan berbagai belahan dunia belakangan dekade. Lazimnya, Islamophobia hidup berdampingan dengan hasutan xenophobia, sikap anti imigran dan kebencian rasialis lain.

Biasanya ragam kebencian ini menghebat di saat krisis, ketika ekonomi berada dalam kondisi terpuruk. Saat booming ekonomi, ada kue yang cukup untuk dibagi. Orang tak berebut. Pendatang perantauan, perbedaan etnis serta keagamaan, tak dipersoalkan. Sebab kue cukup untuk dibagi, semua baik-baik saja.

Cerita menjadi berbeda saat ekonomi sedang dipayungi awan hitam. Kue menjadi terbatas, orang berebut, saling sikut. Bola mata penduduk “asli” akan memandang sinis ke wajah pendatang. Mereka dianggap mengambil kue ekonomi yang semakin sedikit. Lebih-lebih imigran mau dibayar lebih murah. Itu dianggap merampas jatah kerja mereka.

Maka berkibarlah panji-panji ultra nasionalisme, sektarianisme dan penolakan terhadap segala wujud multikulturalisme. Barisan Neo Nazi pun mulai berparade, menunjukkan wujudnya terang-terangan. Trump di AS menggelorakan ulang sumpremasi kulit putih, seolah hendak membangkitkan hantu Klu Klux Klan, sembari berujar “orang hispanik adalah pemerkosa dan negro pengedar narkoba”.

Pekik kebencian disiarkan. Mereka tak suka kulit hitam, imigran, muslim, pekerja asing, dan lain-lain, kecuali apa yang mirip dengan diri mereka. Menguatnya kebencian ini ditandai dengan kebangkitan kekuatan kanan jauh (far-right) di berbagai negeri.

Di India, rezim Modi dari Bharatiya Janata Party (BJP) menggelorakan kebencian kepada Muslim lewat serangan keras kebijakan politiknya. Di Prancis ada National Front yang belakangan berubah nama menjadi National Rally. Ia merupakan partai yang mengibarkan panji-panji ultra nasionalis dengan slogan “Prancis hanya untuk orang Prancis”. Dan oleh karenanya mereka mempromosikan kebencian kepada kulit hitam, pekerja imigran dari Afrika Utara dan penduduk muslim. Pendeknya, mereka memusuhi “semua yang bukan Prancis!”

Di Belanda ada PVV-Party for Freedom (Partai untuk Kebebasan) atau dengan tokohnya Geert Wilders. Orang ini pernah menunjukkan kebenciannya kepada keyakinan kaum Muslim melalui pembuatan film berjudul “Fitna”. Partai Hukum dan Keadilan (PIS) mungkin menjadi salah satu partai kanan jauh paling sukses. Di Polandia mereka meraup dukungan 43,6% pemilih. PIS adalah garda terdepan anti imigran. Di Hongaria, Fidesz, bukan saja menjadi mayoritas parlemen, pun menempatkan Victor Orban sebagai Perdana Menteri.

Menurut penelitian Pew Research di penghujung 2019, banyak partai berhaluan kanan, menentang migrasi ke Uni Eropa dari negeri-negeri mayoritas Muslim. Partai-partai ini seringkali memiliki sikap yang lebih negatif terhadap Muslim yang bermukim di negara mereka.

Di Swedia, partai Demokrat Swedia (SD), 59% pendukungnya memiliki pendapat negatif terhadap Muslim, berbading hanya 17% yang bersikap sebaliknya. Di Jerman, pendukung partai  Alternative für Deutschland (AfD) 60% memberikan pandangan negatif ke Muslim dan hanya 19%  yang berpandangan positif.

Di sisi lain, mereka yang mendukung keberadaan Muslim lebih banyak datang dari partai populis berhaluan kiri, seperti di Spanyol (Podemos), Yunani (Syriza) dan Prancis (Insoumise). Pendukung mereka lebih menyukai Muslim daripada mereka yang tidak.

15 Maret 2022, PBB menetapkan Hari Melawan Islamophobia. Ini juga bisa menjadi momentum untuk menentang semua kampanye kebencian berbasiskan keyakinan keagamaan (apapun agamanya), etnis, warna kulit, gender, dikotomi pribumi-non pribumi, dan jenis-jenis kebencian serupa. Belakangan tahun, sebagai sebuah bangsa kita telah diadu sebagai sesama rakyat pekerja dengan sentimen semacam ini. Cacian rasial (racial slur) seperti “Kadal Gurun” (Kadrun) dianggap normal. Di sisi lain orang memaki cara orang lain beribadah. Kita harus berani berkata, cukup sudah!

Mengenang Nelson Mandela, tokoh hebat ini pernah berujar, “Tidak ada orang yang terlahir membenci orang lain karena warna kulitnya, atau latar belakangnya, atau agamanya. Orang harus belajar membenci, dan jika mereka bisa belajar membenci, mereka bisa diajari untuk mencintai…”

 

We are The Working Class.

Seri Tulisan Pendek Vol.1

Dirilis pada : Selasa, 29 Maret 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.