Malam ini lengang. Kelengangan menempel pada dinding dan langit-langit ruangan, ia melayang bersama hawa panas bulan Juli. Orkes chopin masih mengalun di latar, kopi kedua saya telah habis, dan membayangkan apa yang akan saya lakukan esok hari, saya tidak sepenuhnya berada disini. Sebuah kelengangan yang makin sempurna.
Kepala saya telah plontos, saya baru saja menunaikan nazar tiga minggu lalu. Saya bernazar untuk menghabisi rambut di kepala apabila buruh PT Hansae memenangkan tuntutannya. Memang tidak sepenuhnya menang, tetapi mereka mencapai suatu kesepakatan. Seberapapun ukurannya, kemenangan tetaplah kemenangan bukan?
Posko yang mereka bangun dari kayu, bambu, dan spanduk bekas yang digunakan untuk menghadang gerbang pabrik sebagai alat menuntut pun sudah dibongkar kemarin sore. Setelah kurang lebih tiga minggu menginap di posko yang tak becus menghalau terik dan hujan itu, mereka akhirnya dapat tidur kembali di rumah kontrakan.
Setidaknya nyamuk di tempat mereka tidak seberingas yang ada di posko, dan mereka dapat tidur di alas yang lebih baik daripada di atas aspal berlapis tiker pandan. Dan juga tentu, kehangatan; akhirnya dapat mereka rasakan kembali. Sulit untuk mempercayai ini jika kau tidur di tempatmu sekarang, tapi, kehangatan jarang ditemukan di luar rumah, kau tahu?
Seseorang harus merelakan sesuatu pergi darinya untuk mendapat sesuatu yang lain. Pada buruh-buruh PT. Hansae, kehidupan normal hariannya dihabiskan di posko depan pabrik untuk mendapat pesangon mereka, walau sebenarnya itu adalah hak mereka. Pengorbanan diperlukan, itu wajar. Semacam itulah cara kehidupan ini bekerja.
Jika kau–untuk mendapat sesuatu–kau merasa membayar terlalu mahal untuknya, kau tahu kau tidak benar-benar menginginkannya. Dan kau sebaiknya berhenti berangan-angan. Sebab semua harga yang harus dibayar untuk memenuhi hasratmu, adalah harga yang pantas.
****
Penulis: Niko, anggota AKMI (Aksi Kaum Muda Indonesia).