PERNYATAAN SIKAP, KONFEDERASI PERSATUAN BURUH INDONESIA (KPBI) WILAYAH BEKASI
Politik upah murah ternyata masih menjadi pilihan pemerintahan saat ini dalam penentuan tingkat upah bagi buruh diIndonesia. Semua nilai upah yang telah ditetapkan di daerah tingkat dua dapat dipastikan nilainya jauh dari kebutuhan nyata kaum buruh agar dapat hidup layak. Setiap akhir tahun buruh selalu berhadapan dengan bagaimana menentukan kebutuhan hidup untuk tahun berikutnya bagaimana tidak konsep penentuan upah di indonesia adalah menentukan upah tahun berikutnya dengan melakukan survey kebutuhan di akhir tahun sebelumnya sementara kebutuhan hidup di tahun berikutnya juga akan mengalami kenaikan. Sehingga kenaikan upah juga di ikuti oleh kenaikan harga harga kebutuhan hidup maka jelas bahwa secara nominal memang ada kenaikan upah namun secara kualitas upah tetap dan tidak ada kenaikan kualitas karena di barengi dengan kenaikan harga setiap tahunnya.
Terhitung sudah tiga tahun ini buruh kembali di hadapkan dengan praktek sistem upah yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak dimana pada tahun 2015 pemerintah membuat satu peraturan tentang pengupahan yaitu PP 78 tahun 2015 yang pada awal di keluarkan peraturan tersebut ditolak oleh hampir seluruh gerakan buruh di indonesia sebab peraturan pemerintah tentang pengupahan nomor 78 tersebut saling bertabrakan dan tumpang tindih dengan peraturan ketenagakerjaan sebelumnya diantaranya Penetapan upah minimum tidak lagi berdasarkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak); telah mereduksi kewenangan Gubernur serta peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam penetapan upah minimum Pasal 44 PP 78 menyatakan:
1.Penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan Upah minimum 2. Formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt) 3.Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Upah minimum dengan menggunakan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Sudah jelas bahwa Pasal 44 tersebut diatas jelas-jelas bertentangan dengan pasal 89 ayat (3) serikat pekerja diberi peran dalam dewan pengupahan dalam menentukan besarnya UMK / UMSK yang akan direkomendasikan ke Gubernur. Dengan berlaku PP 78 tahun 2015 peran serikat pekerja yg diberikan oleh UU no.13 tahun 2003 diamputasi oleh pasal 44 PP 78 Dalam pasal 89 ayat (2) ada survey KHL yg melibatkan serikat pekerja/serikat buruh di dalamnya. Dan peran serikat pekerja/serikat buruh yg diberikan oleh UU no.13 tahun 2003 diamputasi pula oleh pasal 44 PP 78 tahun 2015.
PP 78 tahun 2015 adalah peraturan pemerintah yang sangat merugikan buruh dalam mencapai kualitas upah yang lebih baik bagaimana tidak nafas peraturan pemerintah tentang pengupahan adalah tidak dengan menentukan survey kebutuhan hidup layak melainkan hanya dari inflasi yang sudah di tetapkan oleh pemerintah misalnya dalam penentuan upah tahun 2019 ini pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) pada 15 Oktober 2018 lalu telah menandatangani Surat Edaran Nomor B.240/M-Naker/PHISSK-UPAH/X/2018 yang pada prinsipnya adalah pemerintah daerah menetapkan upah pada tahun 2019 sebesar 8,03% dengan dasar inflasi 2,88% untuk inflansi dan 5,15% untuk pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dari sini bisa kita lihat ada penurunan kualitas upah sebab pada tahun 2018 kenaikan upah di angka 8,7% namun tahun 2019 kenaikan upah justru mengalami penurunan 8,03% sementara kebutuhan hidup terus naik.
Bagaimana dengan kabupaten bekasi? pada dasarnya PP nomor 78 tentang pengupahan berlaku bagi seluruh provinsi di indonesia ada beberapa pengecualian di beberapa provinsi, menurut Surat Edaran Menteri ada 8 provinsi yang bisa melakukan penyesuaian dan memang ada penjelasan tidak wajib bagi pemerintah daerah yang bisa menentukan kenaikan upah di atas 8,03% di beberapa daerah misalnya di Jawa Timur sempat beredar kabar kenaikan hampir di seluruh kota kabupaten lebih tinggi dari kenaikan yang ditentukan oleh pemerintah yaitu di atas 8,03% untuk kenaikan upah tahun 2019.
Kabupaten Bekasi sebagai salah satu kota/kabupaten yang mempunyai 11 kawasan industri besar dan menjadi salah satu kabupaten dengan jumlah kawasan terbesar di indonesia yang saat ini juga sedang dalam proses menunggu kepastian SK gubernur terkait upah untuk kabupaten bekasi 2019 menurut informasi rapat pleno penentuan upah 2019 di kabupaten Rapat Dewan Pengupahan Kabupaten Bekasi (DPKAB) kembali digelar pada Selasa tadi (30/10/2018) di Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi dalam rapat pleno tersebut terjadi aksi walk out dari DPK unsur serikat pekerja/serikat buruh akibat dari unsur pemerintah mendorong untuk melakukan voting yang jelas dalam mekanisme voting di pastikan usulan Pemerintah dan Apindo yang disepakati sementara itu masih ada perbedaan dalam menentukan upah perwakilan serikat pekerja/serikat buruh meminta penetapan upah sesuai dengan hasil KHL dan survey real yang jika di hitung secara nominal di angka sebesar Rp. 4.402.281,- dari hasil survey tiga pasar di kabupaten Bekasi sementara pihak Apindo menggunakan formula PP 78 tahun 2015 dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja yang kenaikannya hanya 8,03% yang jika di hitung secara nominal Rp.4.146126,- maka jika usulan kenaikan upah di kabupaten bekasi sesuai dengan formulasi PP 78 dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja artinya upah di kabupaten Bekasi mengalami penurunan kualitas upah yang tahun kemaren hanya 8,7% persen saat ini menjadi 8,03% maka upah 2019 tidak mengalami kenaikan secara kualitas meskipun memang secara nominal atau angka terlihat ada kenaikan dan buruh tidak pernah merasakan kenaikan kualitas upah sejati.
KERJA KONTRAK, OUTSOURCHING DAN MAGANG YANG TIDAK MEMBERI KEPASTIAN MASA DEPAN BURUH
Status kontrak dan sistem outsourching memang sedang marak dipraktekkan dalam dunia industri ataupun perusahaan swasta, baik pekerja kantoran di bank sampai pekerja industri di pabrik. Sistem ini tidak membedakan ruang kerja, Semua sama. Memang sistem ini sengaja digunakan oleh para pengusaha, karena sistem ini dirasakan yang paling menguntungkan pengusaha. Mengapa? Karena dengan status kontrak dan outsourching, pengusaha tidak perlu repot-repot lagi membayar upah buruh dengan biaya tinggi. Hanya perlu membayar sebatas UMR tanpa adanya tunjangan-tunjangan dan jaminan kesejahteraan lainnya, sehingga buruh menjadi tidak terjamin kesejahteraannya, baik untuk dirinya maupun keluarganya
Selain itu, buruh juga tidak memiliki jaminan kepastian bekerja. Setiap bulan hanya mengharap agar kontraknya tidak diputus. Hal inilah yang akhirnya membuat posisi buruh menjadi lemah yang berdampak pada lemahnya buruh untuk berserikat. Nasib kaum buruh ibarat pepatah, ‘habis manis sepah dibuang’. Yang artinya, setelah buruh dihisap dan ditindas tenaganya untuk memberikan keuntungan pada pengusaha tanpa diperhatikan kesejahteraannya, buruh dibuang begitu saja seperti sampah yang tidak berguna. Sistem ini hanya menguntungkan pengusaha dan sistem ini juga dilegalkan oleh pemerintah melalui UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUK).
Dalam pasal 59 ayat (2) UUK disebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu (Kontrak) tidak dapat dibuat untuk pekerjaan yang bersifat tetap(Produksi inti). Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan, yang dimaksud Pekerjaan yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Untuk jenis-jenis pekerjaan yang sifatnya terus-menerus telah ditetapkan dalam Kepmen No.223 Tahun 2003 tentang jenis dan sifat Pekerjaan yang dijalankan secara terus-menerus. Lalu, dalam Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan juga disebutkan, bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (Kontrak) yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dan untuk melakukan pembaruan perjanjian kerja kontrak hanya dapat dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari (1 bulan) hari dari berakhirnya Perjanjian kerja kontrak yang lama. Pembaruan ini hanya dapat dilakukan 1 kali dan paling lama 2 tahun (Pasal 59 ayat 6). Bagi pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 tersebut sebagaimana diatas, maka demi hukum perjanjian kerja kontrak berubah menjadi pekerja tetap.
Mengenai outsourcing dalam Pasal 66 ayat (1) UUK telah disebutkan secara tegas, bahwa Pekerja/buruh yang berasal dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh atau yang dikenal juga dengan yayasan, tidak boleh digunakan oleh pengusaha untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Dalam Penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan dibidang usaha pelayanan kebersihan (Cleaning Service), usaha tenaga pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh (supir jemputan). Namun, pada prakteknya banyak perusahaan yang masih saja mempekerjakan buruh diluar ketentuan undang-undang sebagaimana disebutkan diatas belum juga selesai praktek penegasan terhadap pelanggaran peraturan ketenagakerjaan buruh indonesia kembali lagi di hadapkan dengan sebuah peraturan sistem kerja magang yang di keluarkan oleh kementrian ketenagakerjaan dengan PERMEN NOMOR 36 TAHUN 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri sebagai revisi atas peraturan yang sama pada tahun 2009 dengan dasar peraturan pemagangan untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan matang namun secara praktek di lapangan ternyata menjadi sebuah polemik yang justru malah sangat merugikan buruh. Salah satunya adalah basis anggota KPBI Bekasi, misalnya praktek magang yang tidak sesuai dengan peraturan ini terjadi dimana buruh yang sudah lama bekerja di satu perusahaan dengan sistem kerja kontrak (seharusnya sudah memenuhi syarat menjadi karyawan tetap) namun perusahaan malah merubah statusnya menjadi pekerja magang selain kembali tidak mendapatkan kepastian hubungan kerja juga menurunkan upah pekerja
Kabupaten bekasi sebagai salah satu kota dengan kawasan industri terbesar dengan ribuan perusahaan di dalamnya juga membuat beberapa peraturan yang berkaitan dengan tenagakerja di antaranya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi nomor 4 tahun 2016 tentang ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat beberapa pasal tentang pemegangan namun secara praktek di perusahaan masih ada juga yang tidak mematuhi peraturan tersebut misalnya disalah satu perusahaan dikabupaten bekasi yang juga basis dari KPBI bekasi Berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat (6) Perda Kab. Bekasi No.4 Tahun 2016 menyatakan Setiap Perusahaan dan Pemberi Kerja di Daerah hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah pekerja/buruh namun dalam prakteknya di perusahaan tersebut hampir seluruh buruhnya berubah status menjadi buruh magang yang dahulunya adalah buruh kontrak belum lagi beberapa peraturan tentang pemagangan yang juga mengatur jumlah peserta magang dalam perusahaan Berdasarkan pasal 3 Permenaker No.36 Tahun 2016 yang menyatakan : Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari jumlah buruh. Pada Pasal 18 ayat (6) Perda Kab. Bekasi No. 4 Tahun 2016 menyatakan : Pemagangan yang diselenggarakan dengan tidak melalui Perjanjian Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dianggap tidak sah dan status peserta pemagangan berubah menjadi Pekerja/Buruh dengan Perusahaan pemberi pekerjaan atau Pemberi Kerja.
Terlalu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha terhadap peraturan tentang pemagangan ini juga terjadi di beberapa perusahaan praktik sistem kerja yang melanggar ketentuan undang-undang inilah yang tidak pernah dijatuhi sanksi oleh pemerintah melalui disnaker atau pemerintah di kabupaten bekasi. Ironisnya buruh yang menolak sistem kerja magang yang tidak sesuai dengan peraturan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah, dampaknya bukan malah di angkat menjadi karyawan tetap, namun di balas dengan pemutusan hubungan kerjanya dan ini terjadi di salah satu basis anggota KPBI Bekasi . Lemahnya pemerintah dalam mengawasi pelanggaran-pelanggaran di bidang ketenagakerjaan, mengakibatkan banyaknya buruh yang tidak mendapatkan kepastian perlindungan dirinya soal Upah, Status kerja, dan lain sebagainya, Padahal ketentuannya secara normatif sudah sangat jelas. Sehingga tidak mengherankan selama ini banyak pengusaha telah melanggar ketentuan undang-undang dan tidak mendapatkan hukuman, yang akhirnya merugikan kaum buruh khususnya di Kabupaten Bekasi.
Atas situasi yang terjadi tersebut di atas buruh terkhusus dikabupaten bekasi terus menerus menahan penderitaan dan penindasan, berbagai dampak ketidakadilan di hubungan ketenagakerjaan bukan saja menancam buruh saja tapi juga keluarganya. Untuk itu kami dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) di wilayah kabupaten Bekasi menuntut:
- Wujudkan upah layak sesuai dengan kebutuhan hidup real.
- Hapuskan sistem kerja kontrak, outsourching dan magang.
- Tindak tegas pengusaha yang melanggar peraturan ketenagakerjaan.