Buruh Peringati 22 Desember (Hari Ibu) sebagai Hari Kebangkitan Perempuan

Peringatan Hari Kebangkitan Perempuan (dikenal dengan Hari Ibu), Minggu 22 Desember 2019

Buruh.co, Jakarta – Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia bergabung bersama Aliansi Perempuan Bangkit melakukan unjuk rasa untuk memperingati Hari Kebangkitan Perempuan pada Minggu, 22 Desember 2019 di seberang Istana Presiden, Jakarta. Hari untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 1928 itu menggaungkan pentingnya perempuan untuk bangkit melawan berbagai bentuk penindasan.

Dalam orasinya, perwakilan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Sri Rahmawati memaparkan bahwa masih ada kekerasan berbasis gender pada perempuan di dunia kerja. “Perempuan berhak atas pekerjaan yang layak, perlakuan yang sama,” seru ketua serikat buruh FBLP di PT Amos Indah Indonesia.

Bacaan Lainnya

Ia juga menekankan 22 Desember 2019 merupakan Hari Kebangkitan Perempuan, bukannya Hari Ibu. “Hari ini adalah hari kebangkitan perempuan untuk mengingat perjuangan-perjuangan perempuan melawan patriarki,” imbuhnya.

Pada 1959, Presiden Soekarno menetapkan Hari Kebangkitan Perempuan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959). Kongres Perempuan Pertama dianggap sebagai hari bersejarah karena ketika itu berbagai gerakan perempuan lintas politik, agama, dan suku berkumpul untuk menyatukan tuntutan. Kongres itu mulai mendesakan pentingnya penghapusan diskriminasi dengan mengajukan sejumlah tuntutan perjuangan pada 1928. Di antaranya hak perempuan atas pendidikan dan perkawinan anak.

Namun, Presiden Soeharto mengubah pemaknaan itu dengan menjadikan Hari Kebangkitan Perempuan sebagai hari ibu. Soeharto mengubah nama peringatan itu untuk mendorong perempuan, yang semula didorong untuk aktif berpolitik, sebagai sosok ibu yang menuruti suami dan tidak bersuara soal politik. Alih-alih, rezim yang naik melalui kudeta itu mengkampanyekan ruang perempuan hanya sebatas mengurus rumah tangga saja.

Ketua Departemen Perempuan KPBI Dian Septi menyebutkan aksi ini sekaligus upaya untuk mengartikan ulang 22 Desember.  “22 Desember yang diperingati sebagai hari Ibu adalah hari kebangkitan gerakan perempuan. Bukan hari yang menyanjung peran ibu yang melakukan kerja domestik sebagaimana yang diusung Orde Baru dengan ideologi ‘ibuisme.’” katanya.

Bersama Aliansi Perempuan Bangkit, peringatan Hari kebangkitan Perempuan didorong untuk mengkampanyekan ibu dalam arti baru. “Baiknya kata ibu dalam konteks hari ibu, ditempatkan sebagai panggilan hormat bagi seluruh perempuan yang berjuang untuk kehidupan,” imbunya.

Setelah aksi, para peserta dari KPBI berkumpul untuk memperkuat tali organisasi. Dalam kesempatan itu, para peserta dari Federasi Gabungan Solidaritas Pergerakan Buruh dan Federasi Buruh Lintas Pabrik saling mengenal lebih jauh. Mereka juga berbagi pengalaman dan pemahaman tentang Hari Kebangkitan Perempuan.

Dalam aksi itu, Aliansi Perempuan Bangkit mengajukan empat tuntutan. Pertama, menolak amandemen UUD 1945 yang hanya demi kepentingan oligarki. Kedua, mengoreksi paradigma, arah dan kebijakan pembangunan agar berkelanjutan, inklusif, tidak menggusur paksa dan berkeadilan termasuk berkeadilan gender, sosial dan ekologis, serta tidak hanya mengutamakan capaian material fisik belaka. Ketiga, memastikan pembangunan yang menumbuhkan dan menguatkan kualitas hidup manusia yang saat ini justru menjadi titik lemah bangsa Indonesia, dan membuat rakyat dan bangsa mampu merespons perubahan cepat di zaman ini. Keempat, menjamin hak-hak perempuan, para buruh termasuk buruh perempuan dan kelompok marjinal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.