Buruh.co, Jakarta – Mahkamah Agung mengeluarkan aturan internal lembaga yang menganjurkan hakim untuk memutuskan pembayaran upah proses maksimal 6 bulan atau bahkan tidak membayar upah proses bagi buruh kontrak yang bersengketa di Pengadilan Hubungan Industrial. Kedua aturan internal itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015 dan Nomor 3 Tahun 2018.
Ketua Departemen Hukum dan Advokasi KPBI Nelson F Saragih dalam sebuah diskusi bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menjelaskan bahwa dua SEMA tersebut mengatur permasalahan upah proses bagi buruh yang ter-PHK. Upah proses merupakan upah yang dibayarkan pengusaha pada buruh selama sengketa PHK berlangsung hingga adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap. UU 13/2003 tentang Ketanagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dan buruh wajib memenuhi kewajiban-kewajiban hingga adanya adanya keputusan hukum tetap.
SEMA 3/2015 menyebutkan bahwa amar putusan terkait upah proses adalah: MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Mahkamah Agung membuat aturan Surat Edaran MA tersebut dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 37/PUU-IX/2011 menyebutkan pengusaha wajib membayar upah proses hingga berkekuatan hukum tetap. “(SEMA) Ini sangat merugikan buruh, sebab dalam kenyataannya, buruh bisa menghabiskan waktu hingga 2 tahun sebelum mendapat putusan MA,” ujar Nelson dalam diskusi yang berlangsung pada 29 Januari 2019 di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Jakarta Selatan tersebut.
Jumisih, Wakil Ketua Umum KPBI menambahkan, SEMA 3/2015 yang buruk tersebut diperparah dengan terbitnya SEMA 3/2018 yang justru menghilangkan upah proses bagi buruh kontrak. “Buruh dengan status PKWT (kontrak) yang berubah menjadi PKWTT (karyawan tetap) tidak mendapatkan upah proses, meskipun masa kontraknya sudah bertahun-tahun,” kata Jumisih. Bagi serikat buruh, dua SEMA tersebut sangat merugikan karena perusahaan tidak lagi takut untuk menjalankan sistem kerja kontrak yang merugikan buruh. Melalui sistem kerja kontrak, buruh menjadi mudah di-PHK sewaktu-waktu dan kepastian kerja semakin sulit didapat. “Meskipun bisa digugat, tapi sudah ada jaminan dari MA, pengusaha terbebas dari kewajiban membar upah proses,” lanjutnya.
Dalam analisis KPBI, lahirnya SEMA tersebut, melengkapi sekenario global untuk melanggengkan sistem kerja yang semakin lentur dan tanpa kepastian. “Sesudah Legislatif memproduksi undang-undang yang buruk, diperkuat dengan pengabaian oleh eksekutif, kini yudikatif melegitimasi pelemahan buruh,” ujar Nelson. Terpenting, menurutnya, pengusaha mendapat fasilitas dan kemudahan untuk semakin menempatkan buruh dalam posisi terpojok.
Upaya Perlawanan Serikat Buruh
Dalam diskusi tersebut, PSHK menyebutkan perlunya untuk mengawal kebijakan di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara yang memegang kuasa kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. “Mahkamah Agung harus diawasi,” kata M Nur Sholikin, Direktur PSHK Indonesia dalam diskusi bersama Tim Hukum dan Advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).
Menurutnya, SEMA merupakan aturan internal yang ditandatangani oleh Ketua MA dan berlaku secara internal, menjadi pedoman bagi para hakim. Permasalahannya, ketika SEMA tersebut dijalankan, berdampak bagi pihak lain yang berpekara di MA.
Ia memberikan beberapa masukan sebagai upaya perlawanan yang bisa dijalankan oleh serikat buruh. Pertama, melalui upaya ajudikasi. “Kita bisa mengadukan permasalahan ini Kemenkumham untuk proses ajudikasi,” saran M Nur Sholikin. Dalam proses ajudikasi tersebut, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan diharapkan dapat mencarikan solusi atas benturan antara SEMA dengan peraturan lain. Kedua, mengagendakan audiensi dengan MA untuk membahas pemberlakuan SEMA yang merugikan tersebut. “Sebenarnya serikat buruh bisa melakukan upaya hukum lain, yakni uji materi ke MA, tapi tentu saja langkah ini tidak mudah karena kecil kemungkinan MA akan membatalkan aturan yang mereka buat sendiri,” tambah M Nur Sholikin.
Selain saran yang disampaikan PSHK, Nelson memberikan beberapa pandangan terkait dengan upaya perlawanan yang akan dilakukan oleh KPBI. “Selain upaya formal, KPBI akan melakukan tekanan kepada MA,” ujarnya. Menurutnya, tekanan tersebut, bisa dilakukan dengan menggandeng media secara luas dan aksi-aksi protes ke MA.
Menanggapi berbagai usulan peserta diskusi, Sekretaris Jenderal KPBI Damar Panca menyatakan bahwa serikat buruh harus menjadikan permasalahan ini sebagai salah satu prioritas. “Membatalkan dua SEMA ini, harus menjadi prioritas serikat buruh,” kata Damar. Lebih lanjut Damar menjelaskan bahwa serikat buruh dan buruh-buruh yang terPHK sangat berpentingan untuk membatalkan dua SEMA ini. Menurutnya, kerugian buruh akibat kehilangan upah proses sangat besar, selain tentu saja kerugian politik karena serikat dilemahkan dengan hilangnya anggota.
Pada penghujung diskusi, KPBI dan PSHK bersepakat untuk menjalin kerjasama berkelanjutan. Harapannya, pengalaman PSHK dalam melakukan advokasi kebijakan akan memberikan dukungan bagi serikat buruh dalam upaya melakukan perbaikan kesejahteraan buruh.