Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 17/2017. Peraturan ini muncul tanpa mempertimbangkan suara kelas buruh di sektor pulp dan kertas. Sebagai akibatnya, PHK massal mengancam tanpa adanya antisipasi dari pembuat kebijakan.
Sejak 18 Oktober 2017, pemerintah mulai Permen tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Peraturan yang berlaku surut itu mengakibatkan perusahaan tidak lagi bisa melanjutkan produksi di sebagian lokasi konsesi mereka. Alasannya, konsensi yang dikeluarkan pemerintah itu sendiri berada di lahan gambut.
Buruh memahami kehendak pemerintah untuk merestorasi gambut dan memperbaiki citra negara di hadapan masyarakat internasional. Tapi, ada dampak sosial yang muncul akibat peraturan itu. KPBI melihat persoalan lingkungan bisa diselesaikan secara bertahap, bukannya dengan terburu-buru dan rentan mengakibatkan masalah sosial. Pemerintah bisa bertindak tegas terhadap perusahaan yang melakukan pengelolaan di luar lahan konsensi dan tidak mengeluarkan lagi izin baru di lahan gambut.
Peraturan menteri tersebut berpeluang besar mengakibatkan PHK hingga ratusan ribu buruh dan memberi dampat ekonomi pada ratusan ribu rakyat lainnya. “Sejak mulai diterapkan, KPBI mendapati sudah 4.600 buruh dirumahkan (laid off) dan mengarah pada PHK di Riau. Mereka menjadi tulang punggung bagi puluhan ribu orang,” kata Ketua Umum KPBI Ilhamsyah. Buruh yang bekerja di sektor penanaman dan penebangan hutan merupakan yang pertama dirumahkan oleh perusahaan.
PHK terhadap penggerak ekonomi itu tentu berdampak pada usaha-usaha kecil menengah di sekitarnya. Sebab, tidak ada lagi pemasukan bagi buruh untuk membeli barang dagangan tersebut. “Jangan sampai Riau seperti Kalimantan Timur yang mengalami resesi ekonomi karena PHK massal,” ujarnya.
Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia memperkirakan akan terjadi pengurangan 134 ribu buruh atau 5 persen angkatan kerja di Provinsi Riau dengan 0,5 juta orang terancam jatuh miskin dalam lima tahun ke Depan. Buruh akan kehilangan upah Rp 4,9 triliun per tahun. Penelitian yang diluncurkan September 2017 itu juga menemukan potensi Riau kehilangan Rp 16,5 triliun selama lima tahun ke depan.
KPBI menilai dampak sosial dapat muncul karena peraturan menteri tersebut kurang mempertimbangkan suara buruh dalam penyusunannya. Alhasil, tidak ada rencana matang untuk melakukan pengelolaan dampak sosial.
Sementara, pemerintah tidak memiliki rencana jelas dalam menyediakan lapangan kerja bagi buruh yang terkena PHK. “Membiarkan lebih 100 ribu buruh di-PHK di Riau saja dapat mengakibatkan banjirnya pengangguran. Sebagai akibat, buruh akan semakin sulit mencari kerja dan turun posisi tawarnya,” tegas Ilhamsyah.
Mempertimbangkan hal tersebut, KPBI mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Menteri 17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. KPBI juga menyatakan mendukung serikat pekerja/buruh lain yang memprotes PHK akibat peraturan menteri tersebut.