Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) melakukan unjukrasa menolak omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) yang dianggap sama dengan revisi UU Ketenagakerjaan 13/2003. Dalam aksi pada Senin, 13 Januari 2019, perwakilan GEBRAK bertemu dengan pimpinan Badan Legislatif DPR dan anggota Komisi Ketangakerjaan (IX) DPR. Ssatu pimpinan GEBRAK Ilhamsyah mengatakan DPR seharusnya tidak menerima RUU Cilaka yang diusulkan pemerintah. Kata Ketua Umum KPBI itu, RUU Cilaka sesat dalam logika karena mengkambinghitamkan buruh untuk persoalan investasi dan membahayakan bagi rakyat banyak. Berikut kutipan lengkapnya:
“Secara umum kami menolak omnibus law cilaka dalam rangka merevisi uu 13/2003. Pertama, logika pemerintah terkait investasi, pemerintah mengatakan investasi tidak masuk sehingga butuh revisi ketenagakerjaan, dalam hal ini UU yang akan merevisi substansi atau yang paling prinsip dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Logikanya karena UU Ketenagakerjaan itu logika itu harus ditolak, anggota dewan harus tegas menolak itu
Laporan dari World Economic Forum, faktor yg melibatkan investasi tidak masuk ke Indonesia itu justru korupsi. kalau pemeirntah mau menarik investasi logikanya yang pertama kali dilakukan oleh pemerintah penguatan lembaga-lembaga anti korupsi yg ada di indonesia. Persoalan ketenagakerjaan no 8. etos kerja. Jauh, banyak hal, korupsi perpajakan yg menjadi poin2 lebih penting.
Kedua, proses dalam omnibus law itu sama sekali tidak demokratis, mengulangi sebelumnya soal tenaga kerja, seperti PP78 (tentang pengupahan). Kita tidak pernah mendapatkan draft secara terbuka dari pemerintah yang punya inisiasi merevisi uu 13 melalui omibus law. Yang kita dapatkan cuma statemen2 beberapa menter, menteri perdagangan , perindustrian, jam kerja jadi per jam, menaker bilang pesangon akan diganti dengan asuransi. kita hanya mendapatkan informasi sepleteran dan serikat buruh tidak pernah diajak untuk duduk berunding dalam pembahasan ini. Buruh sebagai satu komponen yg terdampak langsung yg harusnya diajak berunding justru tidak diikutsertakan. Dari statement pemerintah, yang dijadikan satgas hampir semua mewakili kepentingan pengusaha karena terdiri dari orang-orang apindo dan asosiasi pengusaha lainnya.
Bicara dampak, ini rakyat, bapak-bapak adalah wakil rakyat di sini, kami berharap komitmen bapak-bapak. Contoh, kalau seandainya pesangon ini dihilangkan, artinya pengusaha dengan mudah untuk mem-PHK pekerjanya. Jadi, tidak ada beban lagi, karena yang selalu disampaikan bahwa, pesangon adalah cost yg harus dikeluarkan, biaya tinggi. Apa yang membedakan pegawai negeri dan swasta adalah pesangon itu. pesangon harusnya adalah bekal hidup bagi pekerja swasta, kalau PNS mendapat pensiun, kalau buruh swasta harusnya mendapat pesangon, nah sekarang pesangon itu mau dihilangkan bapak bisa bayangkan orang sudah usia 40 atau 50 atau usia lanjut ia pasti kesulitan mencari lapangan pekerjaan rakyat yang akan dirugikan.
lalu, persoalan upah, logika upah ini juga berbahaya, upah yang akan diterapkan ok upah bulanan akan tetap ada katanya. tapi yang bekerja di bawah 40 jam akan dihitung upah per jam. upah nanti bisa dinegosiasikan pengusaha dan pekerja. dalam konteks seperti itu sudah jelas posisi buruh akan lemah, pengusaha dengan mudah mengurangi jam kerja untuk bagaimana agar dalam satu minggu jam kerja tidak mencapai 40 jam. Kalau tidak mencapai 40 jam, artinya ia akan dibayar upah per jam, tinggal dihitung saja berapa upah per jam dan ini akan bahaya karena upah yang diterima rata-rata dalam satu bulan pasti di bawah ketentuan upah minimum, dan itu sudah diambil juga ancang-ancangnya karena salah satu menteri juga mengatakan sanksi pidana di dalam ketenagakerjaan itu dihapus.
Kemaren masih ada sanksi pidana terkait pelanggaran hak normatif, pengusaha masih sewenang-wenang melakukan pelanggaran terhadap norma tenaga kerja, baik soal upah waktu lembur dsb. dan, bisa ktia lihat, mungkin hanya satu atau dua pengusaha yang pernah diadili terkait pidana ketenagakerjaan. Nah, apalagi kalau seandainya sanksi pidana dihapuskan.
Ini dasar penolakan kami terhadap omnibus law Cipta Lapangan Kerja ini karena ini akan berdampak luas pada rakyat Indonesia karena mayoritas rakyat Indonesia kaum pekerja. Kami berharap DPR bisa membuat satu pernyataan tegas kalau bisa hari ini, kalau misal bapak-bapak berani bisa membuat pernyataan juga ikut menolak.
Tapi kami juga belum tahu apakah DPR sudah menerima draftnya atau belum. kalau belum ya kami tidak bisa memaksakan tapi informasi yang kita dengar di media hari ini, kita sama-sama belum mempunyai draft. Draft yang dibuat pemerintah hingga hari ini, serikat buruh belum pernah mendapat. dan saya tidak tahu apakah kawan-kawan di DPR sudah menerima atau belum, kalau sudah, kami berharap hari ini bisa mendapatkan draft tersebut tapi kalau belum, lebih baik sampaikan pada pemerintah, agar proses ini sebaiknya dihentikan mengapa alasannya?karena logika terhadap investasi, logika terhadap persoalan merevisi undang-undang tanpa proses yang demokratis dan segala macam, harusnya DPR bisa bersikap.”