BERLAWAN: Suara Keras Buruh Dibungkam
Sebuah Buku Menarik, Dari Buruh, Oleh Buruh, Untuk Rakyat Indonesia

Judul Buku : Berlawan
Pengarang : Khamid Istakhori
Penerbit : Tanah Air Beta, Jogja
Tahun terbit : 2019
Jumlah Halaman: Xxxi + 158 halaman
Pengorganisasian adalah detak jantung serikat pekerja. Pengorganisasian tidak hanya memperkuat serikat pekerja melalui peningkatan jumlah anggotanya, tetapi juga merupakan anak panah gerakan serikat yang menunjuk ke mana perjuangan buruh harus diarahkan. Dalam buku ini, Kawan Khamid Istakhori secara gamblang mengungkapkan apa yang diperlukan untuk mengorganisir, berjuang, dan melawan di pihak buruh. Dari berurusan dengan serikat kuning yang mulai membusuk, mengadvokasi korban kecelakaan kerja, menghadapi kontraktor yang berlapis-lapis, melobi lembaga pemerintah, hingga tindakan yang bisa berakhir dengan cedera fatal, pengalaman pahit yang membangun serikat yang kuat.
Lahirnya gerakan serikat buruh progresif, SERBUK, adalah hasil dari perjuangan panjang ini. Dengan mengambil bentuk seruan keras dari suara-suara buruh yang dibungkam yang menderita karena penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Pada awalnya, 15 buruh dengan tekad kuat membentuk serikat dan mendaftarkannya pada 2013 ke lembaga yang berwenang. Kasus Fujiseat adalah tonggak untuk SERBUK. Tidak hanya sebagai tempat kelahirannya, kemenangan pertamanya juga diukir di lokasi pabrik berada, dalam peristiwa penembakan dua anggota serikat dan perundingan yang menghasilkan penyelesaian pemutusan kontrak dan pengangkatan pekerja kontrak.
Dalam buku ini, SERBUK berhasil mengidentifikasi masalah kronis pada waktu buruh harian dieksploitasi dan pada saat yang sama, diabaikan selama bertahun-tahun. Kemenangan dengan pengangkatan 206 pekerja harian di perusahaan asbestos, setelah 14 tahun berjuang, adalah bukti bahwa serikat buruh yang baru dibentuk tidak seharusnya diremehkan. Dalam bab tentang “Rasisme Melawan Solidaritas”, pengalaman pengorganisasian SERBUK mengingatkan kita pada peran penting serikat buruh dalam menanamkan tingkat pemahaman dan kesadaran mengenai rasisme di antara anggotanya, khususnya dalam kaitannya dengan masuknya buruh migran, yang sering menjadi bagian dari kesepakatan paket investasi. Hal ini lebih relevan lagi hari ini, karena adanya investasi global Cina yang ambisius melalui Belt and Road Initiative (BRI).
Di sektor konstruksi dan buruh perkayuan, seringkali menjadi tantangan besar untuk melacak buruh, karena ketidakjelasan status dan hubungan kerjanya, yang disebabkan oleh kontraktor/pengusaha yang berlapis-lapis. Dalam pekerjaannya, mobilitas para pekerja konstruksi sangat tinggi, dirotasi dari satu lokasi proyek ke lokasi proyek lainnya. Model pengorganisasian pekerja konstruksi SERBUK, seperti dijelaskan dalam bab terakhir buku ini, telah menawarkan solusi untuk masalah ini; pengorganisasian berbasis komunitas. Dengan mengidentifikasi desa-desa fokus di mana pekerja konstruksi tinggal, SERBUK berusaha keras untuk mempertahankan keanggotaannya sambil terus mengadvokasi hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam menggambarkan pengalaman-pengalaman ini, SERBUK berhasil menangkap bagaimana privatisasi di Indonesia menjadi masalah serius dalam gerakan buruh di sektor energi khususnya listrik, karena praktik ini praktis menghilangkan ‘pekerjaan yang layak’ dari buruh melalui lapisan-lapisan perusahaan sub-kontrak, dan vendor. Buruh berada dalam situasi yang sulit karena tidak mengetahui majikan mereka yang sebenarnya, sehingga menempatkan diri mereka pada risiko kehilangan pekerjaan, standar keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah, kecelakaan kerja yang merajalela dan kompensasi yang rendah, tidak adanya atau kurangnya perlindungan sosial, dan tidak adanya pelatihan yang tepat, di antara masalah lainnya.
Cerita-cerita yang dikisahkan oleh para pimpinan dan organiser SERBUK mencerminkan kondisi dan perjuangan serikat buruh di negara-negara lain di Asia Pasifik, khususnya di Asia Tenggara, dengan konteks dan dinamika politik yang berbeda. Gerakan serikat buruh Indonesia telah berkembang pesat sejak pergantian rezim pada tahun 1998 yang memberikan peluang lebih besar untuk kebebasan berserikat dan akses terhadap hak-hak buruh. Pada periode ini dapat disaksikan ledakan jumlah serikat buruh yang memberi gerakan buruh Indonesia wajah lain.
Dengan demikian, buku ini menawarkan satu alat untuk merefleksikan jalan panjang yang telah dilalui oleh gerakan serikat buruh Indonesia, hambatan yang dihadapi saat ini, dan jalan ke depan. Buku ini mencerminkan respon penulis terhadap serikat buruh yang mapan dan tidak maju-maju, yang menikmati zona nyaman mereka dengan menjaga hubungan yang ‘ramah’ dengan perusahaan dan menyerah pada tantangan modern dunia kerja. Melalui bagian-bagian dari setiap cerita, penulis juga menyerukan solidaritas yang lebih besar di antara serikat buruh, organisasi bantuan hukum dan masyarakat sipil pada umumnya, karena perjuangan tidak dapat berhasil tanpa solidaritas.
Buku ini harus dimiliki oleh para organiser, pimpinan dan aktivis serikat buruh maupun organisasi perburuhan, federasi serikat buruh global, dan warga yang peduli.
Penulis:
Apolinar Z. Tolentino, Jr.
Regional Representative
Building and Wood-Workers’ International (BWI) Asia Pacific
Kuala Lumpur, Malaysia
****
Bagi yang berminat dengan buku ini, pemesanan bisa dilakukan dengan menghubungi Saudara Jarpo (0896-2976-2301)