Pernyataan Sikap
KOALISI TOLAK PHK
“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Begitulah kiasan yang bisa digambarkan terhadap kondisi buruh yang di PHK. Di satu sisi, buruh yang kehilangan pekerjaan tentunya berdampak pada kelanjutan pemenuhan kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Buruh yang ter PHK secara otomatis penghasilan untuk biaya kehidupan keluarga akan hilang. Di sisi lain, pemerintah seakan-akan tidak peduli terhadap nasib buruh yang ter PHK. Pemerintah cenderung abai terhadap buruh yang di PHK.
Misalnya, Kasus PHK Massal terhadap 1.300 buruh PT. Panarub Dwi Karya anggota dari Serikat Buruh Garmen, Tekstil & Sepatu ( SBGTS) yg berafiliasi dengan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), kasusnya sampai sekarang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Buruh yang melakukan mogok kerja tanggal 18 Juli 2012 untuk menuntut; pembayaran upah sektoral, kondisi kerja yg layak, diberikan kebebasan menjalankan organisasi, Pekerjakan kembali pimpinan yg di PHK, berujung Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berbagai upaya telah dilakukan oleh buruh yang di PHK seperti melaporkan kasus ke 13 instansi pemerintah, demonstrasi (sudah 190 kali), sampai melaporkan ke ILO namun pemerintah dalam hal ini Kemenaker hanya bisa memfasilitasi tanpa ada upaya tegas dan konkrit menyelasaikan kasus 1300 buruh.
Kasus PHK lainnya adalah pekerja PT. Freeport Indonesia. Sepanjang tahun 2017, 8.000 buruh di PHK secara sepihak. Berbagai macam upaya yang dilakukan buruh yang di PHK untuk mendapatkan keadilan namun belum di perhatikan secara serius oleh pemerintah termasuk dalam hal ini Disnakerpera Kab. Mimika dan Kemenaker. Penderitaan yang dialami oleh buruh-buruh PT. Freeport Indonesia yang di PHK pastinya berpengaruh juga terhadap kehidupan keluarganya. Sejak tidak bekerja, keluarga menjadi terlantar. Bahkan ada buruh PT. Freeport Indonesia yang bunuh diri karena depresi akibat di PHK.
Selain itu juga, kasus PHK terhadap 1.095 Awak Mobil Tangki sampai saat ini juga belum tertangani dengan baik dan serius. Kasus dari anggota Federasi Perjuangan Buruh Nasional-Konfederasi Serikat Nasional (FPBN-KSN) Sulawesi Selatan seperti di PT. HONDA SANGGAR LAUT SELATAN, ter PHK sebanyak 16 orang dengan alasan yang tidak jelas, PT. Daihatsu dimana kasusnya belum selesai. Kasus PHK di anggota Sentral gerakan Buruh Nasional (SGBN) di PT. KFCI (Korea Fine Cemical Indonesia) Kabupaten Tangerang, Bekasi seperti PT. CGS Indonesia. PT. Putra Pile Indah, PT. Garuda Matalindo, Sumatra Utara seperti PT. PD Payah Pinang, Sulawesi Selatan seperti Tirta Mulia Abadi. Kasus di Federasi Perjuangan Buruh Indoensia seperti PT Varem Sawit Cemerlang Kab. Asahan, Sumut, PT.Advantage SCM, Kota Mataram, NTB, dan berbagai macam kasus lainnya.
Banyaknya kasus PHK buruh sayangnya tidak bisa ditangani dengan baik oleh pemerintah. Dinas Tenagakerja Kabupaten/Kota, Provinsi dan Kementerian Tenagakerja tidak punya posisi yang kuat dalam memberikan perlindungan terhadap buruh. Selama ini, pemerintah hanya punya kewenangan mengawasi, mediasi dan fasilitator dalam setiap kasus perburuhan yang muncul. Nota pengawasan yang dikeluarkan pun belum mampu memberikan solusi bagi kasus yang dihadapi buruh. Itu pun Nota yang dikeluarkan Dinas Tenaga kerja masih susah diakses oleh buruh karena sifatnya tertutup. Belum lagi proses penyelesaian kasus berbelit-belit dan lama serta tidak efektif. Kasus perburuhan selalu diarahkan pada penyelesaian kasus privat yang berarti buruh dan pengusaha di dorong menempuh jalur Pengadilan Hubungan Insdutrial. Padahal tidak semua kabupaten/kota punya PHI. Bayangkan saja jika kasusnya di Bekasi, PHInya ada di Bandung. Berapa uang yang harus di keluarkan oleh buruh untuk ikut sidang. Sementara posisi buruh tidak bekerja sehingga banyak buruh yang kasusnya tidak terselesaikan karena punya keterbatasan biaya.
Buruknya kinerja pemerintah dalam menangani kasus perburuhan, mekanisme yang berbelit-belit, pengawasan yang lamban tentunya berdampak terhadap penyelesaian kasus perburuhan cenderung tidak memihak terhadap buruh. Hal ini dibuktikan dari daftar perusahaan yang ada di pengawasan Kemenaker dan Disnaker sekitar 257ribu perusahaan.Sementara data dari BPS, tahun 2016 menyebut bahwa terdapat 26,7juta perusahaan.Artinya kinerja pengawasan hanya kurang dari 1%. Alasan klasik yang selalu dilempar oleh Disnaker maupun Kemenaker adalah minimnya pegawai yang melakukan pengawasan. Alasan yang selalu jadi pembenaran!
Melihat semakin banyaknya kasus PHK terhadap buruh dan buruknya kinerja Pemerintah (Kemenaker dan Disnaker) dalam menangani kasus perburuhan, maka serikat-serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam KOALISI TOLAK PHK melakukan aksi massa (demonstrasi) dengan tuntutan:
- Keluarkan Permenaker Tentang Upah Proses
- Cabut Surat Edaran No B.20/ppk/I/Dirjen Pengawasan/2014, Tentang Nota Pengawasan yang di Rahasiakan. Keluarkan aturan Nota Pengawasan Dapat di Akses oleh Buruh.
- Tingkatkan kinerja Pengawasan, Libatkan Serikat Buruh dalam setiap Pengawasan Ketenagakerjaan
- Mempercepat penyelesaian kasus Ketenagakerjaan
Kami mengajak kepada kaum buruh membangun dan memperkuat koalisi juang tolak PHK. Karena hanya dengan persatuan yang kuatlah, keadilan dan kesejahteraan bisa kita gapai
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Terima kasih.
Jakarta, 08 Mei 201
1 Komentar