Belajar dari Lika-liku Sejarah Revisi UU Ketenagakerjaan Pasca-Reformasi

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menolak revisi uu 13/2003 pada pidato kenegaraan jokowi di MPR 16 Agustus 2019

Tiga bulan belakangan, buruh gempar dengan rencana revisi Undang-undang tentang Ketangakerjaan 13/2003 yang makin mengemuka. Berbagai pernyataan muncul terkait usulan baik dari Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri yang bilang UU ketenagakerjaan ini kaku seperti kanebo kering, ketinggalan zaman hingga tidak ramah bagi investor.

Rekam jejak digital menunjukan berjibun pernyataan soal revisi ni dari pemerintah dan pengusaha: “Kalau aturan terlalu rigid, biaya perusahaan jadi tinggi. Kalau biaya tinggi biasanya penyerapan tenaga kerja menjadi rendah. Harapan kami dibuat lebih netral agar penyerapan lebih besar,” kata Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani di CNNIndonesia.com. Sementara Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengatakan pihaknya akan memberikan masukan kepada pemerintah mengenai enam poin yang perlu direvisi, antara lain upah, pesangon, kesejahteraan pekerja, dan outsourcing. “Kita sudah komunikasi dengan berbagai kementerian untuk memperbaiki UU Ketenagakerjaan, tidak hanya untuk kepentingan pengusaha tetapi juga kepentingan competitiveness,” ujar Rosan seperti diberitakan Detik.com

Bacaan Lainnya

Kabar-kabar itu semakin nyata ketika Presiden Joko Widodo, dalam wawancara khusus dengan media Channel News Asia,  tegas mengatakan akan merampungkan revisi UU 13 tahun 2003 ini pada akhir tahun ini sehingga investasi dari luar yang ingin berinvestasi ke indonesia tidak ragu ragu lagi terutama yang padat karya.

Sejarah Singkat Upaya Revisi UU Ketenagakerjaan dan Respon Gerakan Buruh 

Dalam sejarahya, peran pengusaha terus membayangi revisi UU Ketenagakerjaan. Kelahiran UU 13 tahun 2003 di era Megawati  merupakan tindak lanjut kesepakatan kucuran utang atau Letter of Intent dari Badan Moneter Internasional (IMF) pada 2003.

Meski begitu, revisi pada 2003 itu sebetulnya sudah banyak menuai pro kontra baik dari kalangan buruh maupun pengusaha. Dalam perjalanannya UUK ini sedikitnya sudah ada ada 3 kali wacana revisi dengan respon yang begitu besar dari banyak kalangan. Di tahun 2006, wacana Revisi UUK ini di respon kencang oleh ABM ( aliansi Buruh menggugat), meski ABM mengaggap UUK ini cacat semenjak lahir namun ABM juga melawan Revisi UUK ini dan memperjuagkan draf UU perlindungan buruh yang telah disipakan hingga ABM bubar. Upaya kedua muncul kemudian di tahun 2009 di era SBY dan ketiga di penghujung periode presiden jokowi saat ini.

Dari ketiga rencana itu, revisi pada 2006 merupakan yang benar-benar berusaha diloloskan. Namun, persatuan berbagai gerakan buruh tanpa memandang haluan politik berhasil membatalkan revisi tersebut. Sementara, revisi tahun 2009 tidak mewujudkan keseriusan berarti. Upaya revisi yang benar-benar mengemuka dan tampak serius baru kembali muncul pada era Jokowi yang terkenal mengeksekusi berbagai kebijakan usulan pengusaha.

Jika di lihat hampir semua serikat buruh yang ada melakukan respon dengan menolak revisi UU 13 tahun 2003 ini. Penolakan ini dilakukan buruh baik melaluli masa aksi atau pun statement dari konfederasi dan federasi serikat buruh. Respon hampir dilakukan di seluruh kota kota industri yang ada di indonesia seperti Jabodetabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Batam, Sumatera Utara, dsb.

Meski ditolak buruh, usulan revisi UUK ini malahan disepakati oleh anggota anggota tripatit nasional pada awal tahun 2018. Lembaga kerja sama Tripatit Nasional ( LKS tripanas) yang diketuai oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, yang kebijakannya tidak berbau kiri sama sekali, dan beranggotakan perwakilan dari unsur pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha telah menyepakati 9 hal salah satunya adalah Revisi undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

Dari hal di atas terkait respon buruh maka boleh di bilang gerakan buruh saat ini belum lah solid dalam hal melakukan perjuangan kesehjahteraannya. Saat ini, setidaknya penolakan-penolakan itu, meski sudah terbentuka aliansi, masih belum berada dalam satu payung bersama. Hingga saat ini, berbagai gerakan yang menolak masih bermuara pada Gerakan Buruh Bersama Rakyat, Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas), dan KSPI.

Di bandingkan dengan ABM pada masanya boleh di bilang ABM lebih maju karena selain penolakan ABM juga membuat draf UU perburuhan yang terus mereka kampayekan baik di sektor buruh, membuat workshop di kampus kampus dan juga sekotr rakyat lainya. Ini karena memang ABM menilai UU 13 lahir sudah cacat sehingga belum mampu melindungi buruh. Sehingga ABM selain melakukan penolakan revisi UUK pada tahun 2006 mereka juga memperjuangkan RUU perlindungan buruh.

Setelah 2006, pemerintah dan pengusaha terus memutar otak. Alhasil, meski UU 13/2003 tidak direvisi, pemerintah terus mengeluarkan aturan turunan UU itu yang malahan mengamputasi pasal-pasal perlindungan di undang-undang. Di antaranya adalah peraturan menteri tentang permagangan, PP Pengupahan yang jelas-jelas bertentangan dengan UU, Surat Edaran Mahkamah Agung (yang sebenarnya tidak relevan), dan peraturan menteri soal outsourcing. Alhasil, perlawanan-perlawanan gerakan buruh bersifat reaktif terhadap

Jika merujuk sejarah di atas,  maka terkait revisi uu 13 tahun 2003 maka pilihannya adalah melawan revisi UU 13 dengan sekuat tenaga. Sebab, revisi jelas akan mengarah pada pasal-pasal yang merugikan buruh. Namun, kita juga harus menuntut dicabutnya aturan ketenagakerjaan yang merupakan turunan dari uu 13 tersebut seperti aturan terkait pengupahan, sistem kerja dan sebagainnya yang mengamputasi UU 13/2003. Yang lebih penting lagi,  tugas mendesak gerakan buruh adalah mekonsolidasikan diri dan memperjuangakan UU pelindunggan bagi Buruh.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.