Gerak perubahan zaman menunjukkan seolah perempuan semakin mudah mendapatkan akses pendidikan, semakin berkurangnya selisih gaji buruh laki-laki dan perempuan, semakin bertambah jumlah perempuan aktif berpolitik, benarkah menandai berkurangnya patriarki dan penindasan pada perempuan? Faktanya, modifikasi patriarki memamerkan kemajuan perempuan seolah kadar patriarki terus berkurang.
Sosiolog dari Universitas Lancaster Inggris Sylvia Walby dalam buku”Teorisasi Patriarki” mendefinisan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik tempat laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Pada level paling abstrak, patriarki berwujud sebagai sistem relasi sosial.
Sistem struktur sosial berarti operasi sistem yang berlangsung lama didukung budaya bahkan pedoman agama oleh karenanya disepakati masyarakat, berlangsung menjadi pola pada hubungan suami-istri, atasan-bawahan, negara-warga masyarakat.
Praktik patriarki berlangsung pada ranah pribadi (private) dan ranah publik. Mode kekerasan patriarki pada ranah pribadidilakukanindividu sedangkan publik dilakukan secara kolektif.
Patriarki pada ranah pribadi misal membebaskan perempuan untuk bekerja. Karena telah bekerja lama maka ia bahkan menjadi tulang punggung keluarga sekaligus menanggung urusan domestik. Namun perihal penggambil keputusan tetap dominan laki-laki.
Omnibus Law Penjarakan Perempuan di Sektor Rumah Tangga
Menurut penelitian yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat Perempuan Mahardhika terhadap responden buruh perempuan pada kurun September – Desember 2019 dengan responden buruh perempuan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah sebagian besar buruh mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) usai bekerja hingga mempengaruhi produktifitas kerjanya. Meski istri sibuk bekerja, lelaki tetap enggan melakukan pekerjaan domestik. Tetapi, lelaki merasa kehilangan kekuatannya karena melihat istri yang lebih independen secara finansial. Relasi hubungan suami istri yang semakin memburuk ini kerap diperparah dengan kebiasaan suami mengonsumsi minuman keras dan berjudi.
Kondisi perempuan tersebut akan diperburuk dengan disahkan Omnibus law. Omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) tak ubahnya merupakan revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada diskriminasi upah, fleksibilitas upah dan jam kerja yang bakal makin merugikan perempuan. Misalnya, RUU Cilaka bakal mengizinkan upah di bawah UMP untuk sektor padat karya dan kontrak seumur hidup. Sebagian besar buruh di sektor ini merupakan perempuan.
Selain itu, buruh perempuan juga terkena dampak rezim pasar kerja yang fleksibel. Sebelumnya pemerintah akan merevisi Undang-undang Ketenagakerjaan karena ingin mengakomodir kepentingan pengusaha, namum serikat buruh tidak tinggal diam. Persatuan buruh dan serikat pekerja berkoalisi bersama masyarakat sipil berusaha melawan dan turun ke jalan terus melakukan perluasan opini kritis menentang upaya revisi UU Ketenagakerjaan.
Gagal merevisi UU Ketenagakerjaan, pemerintah mengakomodir kepentingan pemilik modal, atas nama mengkondusifkan iklim investasi dengan berencana mengeluarkan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang dalam penyusunannya cacat karena tidak melibatkan unsur serikat buruh.
Dengan demikian Omnibus law mencirikan kebijakan patriarki pada ranah publik. Negara memiliki bias sistematis terhadap kepentingan patrarki seperti tampak pada kebijakan-kebijakkan dan tindakan-tindakannya.
Perjuangan pembebasan perempuan untuk bekerja serta fakta adanya KDRT pada perempuan pekerja faktanya justru diabaikan. RUU cilaka justru memposisikan perempuan pekerja digaji murah. Alahasil, perempuan dikondisikan agar lebih baik berkonsentrasi saja pada pekerjaan domestik dan laki-laki pada pekerjaan upah atau publik.
Spesialisasi semacam ini dianggap lebih efisien daripada suami istri bersama-sama mengerjakan semua pekerjaan.Terlebih,keputusan tentang siapa yang akan mengurus keluarga atau memilih bekerja penuh di luar maka perannya akan sulit diotak-atik.
Karena perempuan menerima peran sebagai pengurus rumah tangga, maka rata-rata menguasai lebih sedikit waktu dan produktivitas. Semakin tinggi level upahnya, maka makin besar kecenderungan perempuan meninggalkan pekerjaan rumah tangga untuk pekerjaan dengan upah.
Hal ini berarti, jatuhnya upah perempuan ketika resesi ekonomi akan membuat perempuan cenderung meninggalkan lapangan kerja dan kembali ke aktivitas rumah tangga, sebaliknya saat terjadi ledakan ekonomi mereka akan memasukinya.
Omnibus law, dengan kata lain, secara fleksibel menempatkan perempuan pada posisi cadangan yang bisa dibawa ke dalam produksi ketika ekonomi tumbuh dan dikeluarkan saat kondisi produksi menurun. Saat dikeluarkan dari produksi, perempuan menikah akan memiliki dunia mereka sendiri, keluarga. Dunia tempat mereka akan menghilang dari sektor publik.
Sebagai contoh, sebagian besar sektor produksi yang mengalami kehilangan pekerjaan pada saat krisis ekonomi 1930an di AS mempekerjakan laki-laki. Sementara, perempuan di sektor ini kurang berpengaruh. Ini menguatkan pemisahan laki-laki dari perempuan pada sektor pekerjaan, di mana laki-laki dikonsentrasikan pada manufaktur dan perempuan pada jasa.
Penarikan perempuan dari pasar kerja memampukan keluarga untuk meningkatkan standar hidupnya, yakni dengan memastikan terpenuhinya perhatian bagi anak-anak, anggota keluarga yang sakit dan orang tua, sehingga berguna mengontrol pasokan tenaga kerja ke pasar kerja.
RUU Ketahanan Keluarga sebagai Pengukuh Patriarki Omnibus Law
Kegagalan kapitalisme, ketidaksanggupan investor membayar upah layak dan kesulitan negara dalam menciptakan perluasan lapangan kerja yang dikukuhkan pada omnibus law diperparah dengan usulan draf RUU tentang Ketahan Keluarga yang sudah masuk prolegnas prioritas tahun 2020.
RUU Ketahan Keluarga diusulkan oleh 5 anggota DPR, 3 diantaranya justru perempuan. Dalam salah satu pasal RUU tersebut tugas suami-istri dalam tatanan patriarki dipertegas. Salah satunya, istri disebut wajib mengurusi urusan rumah tangga.
Pasal 25 ayat (2). Ada empat kewajiban suami, yakni (a) sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga. (b), melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran, (c) melindungi dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta (d) melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
Sementara, ayat (3) menegaskan kewajiban istri (a) mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, (b) menjaga keutuhan keluarga, serta (c) memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
RUU Ketahanan Keluarga sangat jelas spirit patriarki dan menggunakan agama menjadi sumber rujukkan mengukuhkan kembali domestifikasi perempuan (penempatan perempuan di rumah tangga semata) dan menarik perempuan pada ruang privat yang di sisi kerja publiknya telah dirugikan omnibus law. Jelas pertalian kapitalisme negara dan tafsir agama menghasilkan produk hukum kebijakan patriarki & memukul mundur perjuangan perempuan.Tidak hanya patriarki, posisi negara sekaligus kapitalis dan rasialis.
Pada pertengahan abad kesembilan belas, perempuan Inggris ditahan di dalam ruang privat di rumah. Ada sanksi-sanksi tegas yang sangat ekstrem melawan seksualitas di luar pernikahan bagi perempuan semacam itu. Mereka tidak bekerja di ruang publik, hanya di dalam rumah tangga mereka sendiri, dan disingkirkan dari ruang publik negara. Kekerasan terhadap perempuan oleh para suami diizinkan sebagai hukum sah. Kultur budaya dan gereja mendukung gagasan bahwa tempat seorang perempuan adalah di rumah.
Domestifikasi perempuan usia kerja kadang juga diperlukan untuk memecah kekuatan perlawanan koalisi perjuangan buruh melawan penindasan. Betapa perempuan mengalami kemunduran. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Keluar dari kandang macan omnibus law masuk pada mulut buaya UU Ketahanan Keluarga.
Hanya pada tataran ide, perempuan akan memiliki otoritas hidup nyaman dalam jeruji keluarga yang ditopang sederet peraturan patriarkat negara. Bahkan meski memiliki kebebasan finansial karena ekonomi keluarga tercukupi suami, tetapi perlahan kapasitas otak perempuan menurun, kesalihan sosialnya menghilang, kemampuannya melihat hal rumit di luar jendela rumahnya tumpul dan pudar. Cek saja betapa anehnya Nia Ramadhani yang tak tau bagaimana mengupas salak.
Itu sebabnya penting perempuan lantang menyerukan tolak omnibus law! Tolak RUU Ketahanan keluarga!
Penulis: Ratna Manggali