Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur (APBJ) yang terdiri dari Federasi Serikat Rakyat Pekerja – Konfederasi Serikat Nasional (FSRP – KSN), Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia – Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (FBTPI – KPBI), Serikat Pekerja Danamon (SP Danamon), Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), Serikat Pekerja Perjuangan Bank Maybank Indonesia (SPPBMI), Serikat Pekerja Bank Shinhan Indonesia (SPBSI), Wadah Asah Solidaritas (WADAS), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) Surabaya mengambil sikapnya terkait rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dalam siaran pers-nya APBJ menyatakan pemilu 2019 baru selesai dijalankan dan disitu tersandar sebuah harapan besar rakyat Indonesia bahwa kepemimpinan negara kedepan akan memberikan sebuah perwujudan dari harapan-harapan yang selama ini dimiliki oleh rakyat terutama kaum buruh. Buruh berharap hidup jauh lebih baik. Upah yang selama ini diterima buruh hanya cukup untuk makan dan bertahan hidup, disini buruh berharap agar upah bisa diterima lebih tinggi supaya buruh bisa menabung dan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Hingga hari ini, harapan upah lebih baik itu hanya tergantung dalam cita-cita, karena upah buruh yang diterima hari ini masih berada dalam kerangkeng PP nomor78 tahun 2015 yang membatasi buruh mendapatkan upah yang lebih layak. Dalam fakta sehari-hari bahkan upah minimum yang ditetapkan pemerintah berdasar pada PP tersebut belum sepenuhnya dijalankan pengusaha. Masih banyak buruh yang menerima upah dibawah UMK. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) 2014-2015 ada setidaknya 60% buruh menerima upah dibawah UMK. Bahkan pada 2016, data ILO menyebutkan 40% buruh garmen menerima upah dibawah UMK.
Celakanya, pemerintah terutama Kementerian Ketenagakerjaan yang bertugas untuk mengawal kebijakannya ternyata juga lemah dalam mengawasi dan menindak para pengusaha yang melakukan pelanggaran upah. Fakta ini terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Selain itu, dalam hal pesangon yang menjadi hak buruh ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) juga masih menjadi persoalan di banyak kasus dan tempat.
Jika melihat data pada 2008, Survei Angkatan Kerja Nasional ada 66% buruh tidak mendapatkan pesangon dan 27% mendapat pesangon tidak sesuai aturan. Dapat kita lihat dalam keseharian buruh ketika menghadapi proses PHK yang menunggu putusan inkrah pengadilan, mayoritas pengusaha tidak mau membayarkan upah selama proses. Padahal ini kewajiban pengusaha dalam proses PHK yang juga sudah pernah diuji materikan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Lagi-lagi pengawasan yang menjadi tugas dari Kementerian Ketenagakerjaan beserta seluruh jajarannya sangat lemah sehingga pengusaha dengan seenaknya melakukan pengingkaran terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dan tentu saja buruh lagi-lagi menjadi korban.
Fakta lain, terkait pelaksanaan kontrak dan outsourching yang diatur dalam Undang-undang no 13 tahun 2003 dan ditegaskan oleh putusan MK nomor 19 tahun 2012 bahwa hanya ada 5 bidang pekerjaan yang bisa di-outsourching-kan. Dalam praktek di lapangan justru semakin berkembang pesat pemberlakuan outsourching dibagian utama produksi. Dalam praktek seperti ini, fungsi pengawasan dan penindakan oleh pemerintah juga mandul.
Usulan yang diwacanakan pengusaha dalam rencana revisi Undang-undang nomor 13 tahun 2003 terkait dengan status hubungan kerja kontrak dan outsourcing serta pengurangan kewajiban pesangon pengusaha pada buruh yang di PHK ini saling terkait. Jika pesangon hanya dibatasi 5 bulan kerja saja ketika terjadi PHK, maka pengusaha akan dengan seenaknya melakukan PHK kepada buruhnya karena semakin tidak ada beban. Ini akan bisa dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mempermudah pergantian pekerja kepada status pekerja kontrak dan outsourcing.
Akibatnya adalah semakin hilangnya kepastian kerja bagi para buruh kedepannya. Secara logis daya tawar buruh semakin lemah di dunia kerja. Hal ini sangat merugikan buruh dan menguntungkan secara sepihak pengusaha. Selama ini saja, praktek pelanggaran pengusaha terhadap sistem kerja kontrak, outsourching, dan pelanggaran dalam proses PHK masif dilakukan oleh pengusaha tanpa tindakan tegas dari pemerintah, apalagi jika Undang-undang nomor 13 tahun 2003 direvisi menjadi lebih akomodatif terhadap kepentingan pengusaha.
Disisi lain usulan pengusaha yang juga sudah banyak diulas dalam media adalah melakukan pembatasan hak mogok kerja dan kebebasan dalam berserikat. Terkait dengan hak mogok adalah kewajiban pemeberitahuan 7 (tujuh) hari kerja sebelum pemogokan diusulkan untuk menjadi satu bulan sebelum pemogokan. Ini hanya bertujuan untuk pengusaha memiliki kesempatan yang cukup untuk menggagalkan pemogokan.
Melihat munculnya usulan revisi ini yang diusung pengusaha, maka bisa dipastikan revisi kali ini akan cenderung mengakomodir kepentingan pengusaha. Melihat pada fakta yang sudah berlangsung selama ini dan wacana usulan revisi yang dibisikkan oleh pengusaha kepada pemerintah hari ini, APBJ merasa sangat keberatan dan tidak setuju.
APBJ meminta kepada pemerintah agar menunda rencana revisi itu dan melibatkan buruh dalam perumusan revisi atau perubahan Undang-undang nomor 13 tahun 2003. Sehingga Undang-undang yang baru bisa mewadahi kepentingan para buruh di Indonesia. Tentu saja, keterlibatan buruh yang APBJ maksud adalah harus benar-benar merepresentasikan kepentingan kaum buruh secara luas.
Ada baiknya jika sebuah revisi Undang-undang nomor 13 tahun 2003 didahului dengan manarik masukan atau usulan dari kaum buruh di seluruh daerah di Indonesia. Harapannya, dapat dilahirkan Undang-undang tentang Ketenagakerjaan yang mencerminkan kepentingan seluruh komponen bangsa.
Aliansi Perjuangan Buruh Jawa Timur (APBJ) menyatakan menolak revisi Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan versi pengusaha. APBJ juga meminta kepada pemerintah untuk menunda revisi Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan sekaligus mendesak kepada pemerintah untuk meminta masukan dari seluruh elemen buruh di Indonesia. Sekalian itu ABPJ mendesak kepada pemerintah untuk fokus pada penegakan sistem pengawasan ketenagakerjaan yang selama ini mandul.
***