Dalam aksi peringatan Hari Buruh Internasional 2019, kepolisian melakukan tindakan-tindakan represif dan di luar hukum baik kepada peserta unjuk rasa. Untuk itu, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mendesak kepolisian untuk melakukan pembenahan terkait pengawalan aksi unjuk rasa.
KPBI mengutuk tindakan represif kepolisian di Jakarta dengan melakukan blokade terhadap rute aksi secara sewenang-wenang. KPBI dalam aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) sendiri mengalami tindakan tanpa dasar hukum yang jelas tersebut. Kepolisian Daerah Metro Jaya akhirnya memblokade terhadap sejumlah rute jalan menuju titik kumpul di Jl.Sudirman, Jakarta.
Setibanya di lokasi, polisi kembali melakukan blokade terhadap puluhan ribu massa untuk melewati Bundaran Hotel Indonesia selama beberapa jam dengan alasan peraturan gubernur DKI Jakarta tentang pengendalian penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka. Padahal, aksi-aksi peringatan May Day sebelum 2016 jamak melewati bundaran Hotel Indonesia dan peraturan gubernur juga tidak dapat mengangkangi UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum 9/1998.
Di Sukoharjo (Jawa Tengah) dan Yogyakarta, kepolisian malah bertindak secara brutal dan membabi buta. Tindakan-tindakan tersebut jelas-jelas di luar hukum dan prosedur. Di Sukoharjo, kepolisian merampas alat aksi anggota Federasi Serikat Buruh Kerakyatan, Serikat Pekerja Listrik Area Solo Raya sehari sebelum aksi dan melarang buruh memperingati may day dengan unjuk rasa. Sementara, di Yogyakarta, kepolisian menghalangi rute aksi dan melakukan kekerasan pada anggota barisan Komite Aksi May Day untuk Rakyat. Dalam agresi itu, kepolisian dilaporkan merusak alat pengeras suara dan melukai belasan peserta aksi. Sementara, di Surabaya, kepolisian merebut atribut aksi dan mengancam pembubaran serta memaksa peserta aksi mencopot penutup mulut.
Di Bandung, KPBI melihat kepolisian melakukan tindakan brutal dan melanggar hukum secara terang-terangan. Para penegak hukum malahan melakukan aksi penganiayaan pada para peserta May Day dan melakukan perpeloncoan dengan menelanjangi mereka. Tindakan kepolisian terhadap pengunjukrasa berseragam hitam merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan, melanggar asas praduga tak bersalah, dan mencoreng demokrasi dengan membubarkan aksi unjuk rasa. Jikapun mereka melakukan pengrusakan, tindakan kepolisian jelas-jelas tidak dibenarkan.
KPBI menilai negara mesti bertanggungjawab terhadap aksi-aksi kekerasan tersebut. “Aksi kekerasan itu dilakukan secara sistematis dan terencana. Negara mesti bertanggungjawab atas represi itu, “ kata Ketua Umum KPBI Ilhamsyah. Untuk itu, KPBI juga mendesak pemerintah memastikan kepolisian menghukum aparat-aparat yang terlibat dalam kekerasan-kekerasan tersebut.
Kami juga mengecam kekerasan wacana yang dimunculkan kepolisian di media dengan menyebut peserta aksi di Bandung sebagai pengangguran dan bukan dari kelompok buruh untuk menyudutkan korban kekerasan kepolisian. “Peserta aksi May Day adalah bagian dari kelas buruh. Sebagian adalah buruh dan sisanya anak-anak buruh serta calon buruh,” terang Ilhamsyah.
Untuk itu, KPBI juga mendesak pemerintah melakukan pembenahan terhadap cara polisi mengawal aksi unjuk rasa. UU no 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga mesti menjadi patokan utama dan pemerintah mesti mencabut berbagai peraturan, mulai Peraturan Kapolri, pergub, dsb, yang membuat norma baru guna membatasi aksi unjuk rasa. Ruang demokrasi untuk menyampaikan protes wajib dijamin untuk sarana kaum tertindas menyuarakan perlawanan.
Tidak hanya itu, KPBI melihat berbagai unjuk rasa dan protes muncul akibat tindakan kesewenang-wenangan pemodal dan pembangunan. Banyak buruh turun ke jalan karena pelanggaran-pelanggaran ketenagakerjaan yang tidak diselesaikan. Begitu juga dengan elemen rakyat lain, petani dirampas tanahnya demi pemodal dengan mengatasnamakan pembangunan dan infrastruktur. Untuk itu, KPBI memandang perlunya pemerintah membenahi persoalan ketidakadilan di ketenagakerjaan dan berbagai ketidakadilan lainnya, alih-alih melakukan represi terhadap pengunjukrasa.
Siaran Pers, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Sabtu, 4 Mei 2019