Kamis, 26 Oktober 2017 lalu kabar duka datang dari Tangerang, Banten. Perihal berpulangnya seorang aktivis atau pegiat serikat buruh. Ia sejak sebelum reformasi telah hadir dari pabrik ke pabrik untuk mengorganisir, menularkan kesadaran atas hak buruh, melakukan advokasi, dll,. Romli namanya, setengah abad usianya saat ia pergi meninggalkan dunia. Mungkin setengah dari hidupnya didedikasikan untuk perjuangan buruh.
Serangan jantung, atau gerd – asam lambung akut – sakit yang diduga membuatnya pergi. Romli bukanlah satu-satunya pimpinan serikat buruh yang konsisten berada di jalur perjuangan kelas pekerja, namun juga ia juga bukan satu-satunya seorang aktivis serikat yang pergi dalam usia relatif muda karena sakit parah yang diderita. Beberapa sakit itu tak terbaca dan menghentak merenggut nyawa.
Beberapa bulan sebelumnya, Koswara yang juga adalah sahabat karibnya di Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU-KSN) telah pergi. Bina, atau yang biasa dipanggil Pak Bina juga dari serikat yang sama lebih dahulu pergi beberapa tahun lalu karena sakit keras yang diderita. Nama lain pimpinan serikat buruh yang pergi karena sakit keras adalah Beno Widodo, Joko Sumantri, dan Fajar, mereka bertiga aktif di Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). John Silaban, pemuda bandel dan pemberani yang aktif di Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI-KPBI) juga pergi karena serangan jantung. Kita bisa menyimpulkan ada persoalan sistemis terutama ketika tragedi ini terjadi lintas konfederasi.
Kesedihan adalah rasa yang tersisa bagi kita yang masih ada di garis perjuangan kelas, menyaksikan satu demi satu kawan seperjuangan pergi. Padahal kita tahu, mereka-mereka ini bukan semata aktivis atau pimpinan serikat buruh. Mereka adalah orang-orang yang dipilih Tuhan untuk memimpin perjuangan buruh, perjuangan kelas pekerja.
Kehilangan mereka adalah kehilangan bagi kelas pekerja. Tenaga, pikiran, konsistensi, dedikasi, kejujuran, ketulusan, dan entah apalagi kata-kata kebaikan yang bisa menggambarkan mereka. Kesemuanya telah hilang bersama perginya jasad. Cukup, tak ingin lagi kita kehilangan dan tak ingin lagi kita menangis.
Menjaga Kawan Juang
Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap manusia, tak terkecuali bagi seorang aktivis serikat buruh. Namun tentunya doa kita agar para aktivis dan pemimpin serikat buruh diberikan kesehatan tidaklah cukup, karena tindakan untuk membuat mereka dan juga termasuk kita untuk tetap sehat adalah implementasi dari setiap doa.
Bukan rahasia lagi memang bagi seorang aktivis serikat buruh memiliki kehidupan yang berbeda dengan orang pada umumnya. Gaya hidup mereka adalah salah satu hal yang membedakan. Baru beranjak tidur saat bulan mulai akan digantikan matahari adalah pola dan rutinitas yang tidak biasa, hingga kemudian dibiasakan. Berbagai riset tentang itu sudah cukup banyak.
Belum lagi jam kerja bagi para aktivis yang mungkin bisa saja lebih dari delapan jam per hari. Sejak pagi hingga pagi lagi banyak pegiat seriakt buruh yang aktif dari satu pengorganisiran ke pengorganisiran lain, pendidikan satu ke pendidikan lain, aksi satu ke aksi laun, atau rapat satu ke rapat lain. Bahkan, kapitalisme membatasi jam kerja karena mereka tahu bahwa tubuh, tenaga, dan waktu dari buruh yang sehat itu penting agar dapat terjaga kesehatan dan esok hari dapat lagi bekerja untuk memberikan keuntungan bagi mereka.
Beban kerja yang mungkin juga relatif besar bagi para pimpinan buruh tak bisa dipungkiri juga memiliki satu peran penting bagi kesehatan mereka. Stres yang tinggi dapat memicu timbulnya penyakit-penyakit mematikan. Walau kadang kala para aktivis tak terlalu mempedulikan hal ini, atau bahkan mungkin ada juga yang merasa malu jika merasa stres. Mungkin saja takut disangka demoralisasi, lemah, atau apalah yang membuat mereka harus tampak selalu kuat di hadapan massa.
Padahal mereka sebenarnya juga manusia biasa, bukanlah robot yang dapat terhindar dari stres dan sakit. Mereka adalah manusia biasa yang juga seharusnya memiliki waktu luang untuk memanjakan dirinya, menghilangkan beban, dan relaksasi. Seperti halnya kapitalisme yang memberikan waktu libur bagi buruhnya, sekali lagi, agar mereka terhindar dari stres dan tetap sehat sehingga bisa mengumpulkan pundi-pundi keuntungan bagi pemilik modal.
Dan menjadi aktivis atau pimpinan serikat buruh itu bukanlah profesi yang mudah. Bayangkan saja dengan segala macam aktivitas dan kegiatan yang selalu ada di tiap harinya, mereka kadang kala juga mengalami kesulitan keuangan. Betul bahwa kawan-kawan lain atau serikat akan membantu jika mengalami kesulitan keuangan, namun sebagai manusia biasa, mereka juga butuh uang lebih untuk dapat memanjakan diri atau untuk bertanggung jawab pada keluarganya.
Kendala pendapatan di serikat buruh seringkali membatasi organisasi untuk menghidupi pengurus penuh waktu (full time). Jika tidak ingin meninggalkan organisasi, pegiat serikat buruh mesti memikul dua beban kerja; kerja organisasi dan kerja untuk nafkah. Bahkan, ketika aktivis itu merelakan tidak menikah dan punya anak, ia kerap tetap memiliki tanggung jawab menyumbang kedua orang tua. Sudah bukan rahasia lagi, orang tua ketika tidak lagi bisa mencari uang kebanyakan tidak memiliki jaminan pensiun dan anak adalah harapan mereka.
Persoalan jam kerja kerap muncul dengan alasan organisasi kekurangan kader. Alhasil, kerja-kerja menumpuk pada orang-orang tertentu. Sering ditemui aktivis memiliki double atau bahkan triple kepengurusan. Pengurus federasi bisa menjabat di konfederasai plus di barisan pelopor sebuah organisasi. Ada juga pengurus di tingkat pabrik yang juga memiliki tugas dari tingkat basis, federasi, hingga konfederasi.
Kasus seringkali datang bertubi-tubi dan sulit menghela nafas untuk melakukan kaderisasi. Di hadapan pasar kerja fleksibel dan ketika mendirikan serikat semakin mendapat tantangan, menemukan kader yang tepat menjadi tugas tersendiri. Belum lagi, penyelesaian satu kasus bisa memakan bertahun-tahun.
Inisiatif Bersama Lewat Kerja Organisasi
Inisiatif tentang menjaga kesehatan para aktivis ini memang sudah ada. Sebut saja yang digalang oleh kelompok aktivis pada masa perjuangan penggulingan Orde Baru. Mereka memiliki semacam tabungan kolektif yang digunakan secara khusus untuk diberikan pada rekan-rekannya yang mengalami sakit sehingga sedikit terbantu biaya pengobatannya.
Insiatif tersebut tentunya sangat baik, walau mungkin lebih menekankan pada bentuk bantuan jika ada yang sakit. Gagasan lain yang bersifat prefentif kiranya juga penting untuk meminimalisir ganguan kesehatan bagi para pimpinan serikat buruh. Menasehati agar menjaga gaya dan pola hidup sepertinya tak akan relevan, sekalipun berbagai fakta bahwa banyak kawan yang pergi akibat dari sakit keras. Lagipula, menasehati juga akan terkesan menggurui tanpa memberikan satu bentuk konkrit dalam upaya menjaga kesehatan bagi para pimpinan serikat buruh.
Kiranya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan sudah harus masuk dalam sebuah program organisasi dari serikat buruh. Sampai saat ini, jika kita telisik lebih dalam, mungkin tak ada satupun serikat buruh yang memiliki program internal dalam konteks upaya menjaga kesehatan para pimpinan, kader, dan juga anggotanya.
Tanpa dijadikan sebagai sebuah program kerja, maka gagasan tentang upaya-upaya untuk menjaga kesehatan tak akan ada bentuk konkritnya. Entah seperti apa bentuk program kerja dalam kerangka menjaga kesehatan fisik dan mental bagi serikat pekerja. Disadari atau tidak, beberapa serikat buruh sebenarnya telah memulai hal itu walau mungkin tak terprogramkan dengan rutin.
Semisal adanya lomba futsal antar serikat. Futsal sebagai salah satu bentuk olahraga adalah hal penting sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan. Jika hal ini diprogramkan secara rutin tentu akan menjadi salah satu bentuk dari upaya menjaga kesehatan. Bisa saja bentuk olahraga lain juga digalakan, entah lari pagi bersama di tiap hari Minggu misalnya.
Apapun itu bentuknya, olahraga adalah hal penting bagi kesehatan, bukan secara fisik saja tapi juga secara psikis karena keringat yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut memunculkan hormon endorfin yang dapat meningkatkan rasa senang atau bahagia bagi orang yang menjalaninya. Dalam arti kata lain, olahraga juga berfungsi baik untuk kesehatan mental seseorang, menghilangkan stres, dan dapat menghindarkan diri dari sakit fisik.
Atau bentuk lain yang penting diprogramkan adalah adanya jam kerja bagi seorang aktivis atau pimpinan serikat buruh. Hanya boleh bekerja selama delapan jam sehari, dan jikapun harus “lembur” lebih dikarenakan adanya kegiatan penting dan bersifat mendesak. Mekanisme atau kebijakan jam kerja di serikat buruh mungkin penting untuk diterapkan, sehingga mereka tak lagi harus bekerja lebih lama dari seorang buruh yang bekerja di pabrik pada tiap harinya.
Sudah sangat banyak riset yang mengatakan bahwa overwork itu buruk bagi kesehatan fisik dan mental. Sehingga tak ada salahnya jika gagasan tentang penerapan jam kerja di serikat buruh juga diterapkan. Tak perlu kiranya ada rasa ingin menjadi seorang yang militan berjuang dengan bekerja lebih dari delapan jam, dan makan serta tidur tidak teratur. Pandangan itu mungkin adalah pandangan lama yang harus diubah dalam pikiran dan tindakan. Jangan justru menjadikan gaya hidup tidak membahayakan itu sebagai heroisme.
Jika kita merasa penting untuk merayakan May Day – sebuah konsepsi delapan jam kerja, delapan jam istirahat, dan delapan jam rekreasi – tentunya kita bisa juga menerapkan konsepsi tersebut dalam sebuah kerja-kerja organisasi, bukan hanya diterapkan dalam konsepsi kerja di industri.
Sehingga mereka yang telah bekerja selama delapan jam untuk organisasi, memiliki waktu luang lain untuk relaksasi diri menikmati berbagai kesukaan diri atau hobi. Melepaskan pikiran barang sejenak untuk hal-hal lain, menikmati pertandingan sepakbola di televisi, bercengkerama dengan keluarga di rumah atau dengan kekasih hati, berkumpul bersama teman-teman bermain gitar dan bernyanyi, atau apa saja yang dapat menjadi aktivitas relaksasi.
Dan yang terpenting adalah menambah energi organisasi melalui pengkaderan yang sehat. Setiap serikat mungkin memiliki dinamika dan proses pengkaderan sendiri-sendiri. Ada sebuauh federasi serikat buruh di Jakarta yang memfokuskan hingga satu tahun kepengurusan untuk melakukan kaderisasi. Dalam tahun itu, kasus-kasus serta pemogokan-pemogokan sebisa mungkin ditunda atau dikurangi untuk berfokus pada pendidikan. Energi baru dari kader tentu akan mengurangi beban kerja bertumpuk dari aktivis, terutama di tingkat pimpinan, sehingga bisa menjaga kesehatan.
Insiatif lain yang terprogramkan oleh organisasi dalam kerangka menjaga kesehatan mungkin masih banyak lagi selain yang tersebut di atas. Tinggal bagaimana kita memandang apakah menjaga kesehatan bagi mereka yang bergerak aktif di serikat buruh itu penting atau tidak, perlu diprogramkan atau cukup sesekali saja dilakukan, dan tentunya pikiran apakah cukup atau tidak kita kehilangan kawan-kawan seperjuangan. Sambil mengenang wajah kawan-kawan seperjuangan yang sudah pergi atau membayangkan yang mungkin pergi, bertanyalah dalam hati, “Apakah Penting Menjaga Kesehatan Kawan Seperjuangan di Serikat Buruh? “
Menjaga kesehatan sama pentingnya seperti menjaga api perjuangan..