Baru-baru ini, jajak pendapat lembaga Media Survey Nasional (Median) pada Januari menyimpulkan angka keterpilihan (electability) Jokowi-Prabowo tinggal selisih 9,2 persen. Dengan hari pencoblosan yang baru akan berlangsung 17 April 2019, banyak hal bisa terjadi.
Tapi, terlepas dari ketidakpastian tersebut, ada satu yang pasti yang bakal menyambut presiden hasil pemilu 2019. Kepastian itu adalah krisis kapitalisme yang belum terselesaikan. Krisis ekonomi jelas akan berdampak pada kebijakan politik dan berpeluang besar menghasilkan krisis ekonomi-politik. Siapapun calon presiden yang menang akan menghasilkan kebijakan yang serupa. Mari kita memprediksikan hal-hal apa saja yang mungkin terjadi dan bagaimana peluang serta ancaman bagi gerakan rakyat atau gerakan sosial
Dolar Menguat dan Pukulan bagi Industri dalam Negeri
Dalam sisi ekonomi, tren Dollar yang terus melejit hingga melemahkan nilai Rupiah yang sempat tembus ke angka 15.000 per dollar AS pada Oktober 2018 . Trennya nilai tukar rupiah cenderung terus melemah jika dilihat secara garis besar. Pada Januari 2018, rupiah masih bertengger di kisaran 13,200 per satu dollar dan sekarang25 Januari 2019 sudah mencapai Rp 14,200.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan ada siklus krisis ekonomi 10 tahunan. Terjadi krisis pada 1997-1998, 2008, dan ia memperingatkan untuk tahun 2018. Memang ekonomi Indonesia selamat dari krisis 2018. Namun, mengingat kondisi ekonomi global yang tak kunjung stabil, kebijakan-kebijakan penyelamatan krisis, termasuk dari pemerintah AS, mungkin hanya akan mengundur waktunya menjadi satu tahun. Faktor eksternal, seperti halnya kebijakan bank sentral Amerika Serikat, terus merontokan nilai tukar mata uang negara lain, termasuk rupiah.
Bagi serikat buruh kenaikan harga Dollar AS tentunya akan mempengaruhi sektor industri dan termasuk hubungan ketenagakerjaan. Pendidikan ekonomi dan politik di serikat buruh mengajarkan bagaimana ekonomi global saling mempengaruhi.
Sederhananya, pabrik sosis di cikarang bahan baku dagingnya masih impor, pabrik biskuit di bekasi kota bahan baku gandumnya juga masih impor dan hampir semua pabrik bahan bakunya impor dibayar dengan Dollar AS.
Jika harga Dollar naik maka akan mempengaruhi cost produksi di sebuah perusahaan. Agar tetap dapat membeli bahan baku untuk diproduksi, maka management akan menekan ongkos produksi. Dari berbagai faktor, buruh, ketika tidak ada serikat yang solid, merupakan sasaran empuk untuk menyelamatkan sirkulasi modal para pengusaha. Berbagai strategi digunakan untuk memaksakan efisiensi. Strateginya bisa beragam mulai pengurangan upah sampai dengan memaksakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kebayangkan, dari kenaikan harga dollar AS saja bisa berdampak langsung dalam kehidupan buruh belum lagi dampak ke sektor ekonomi yang lainnya. Tentu saja akan berkolerasi langsung dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan pokok yang semakin mencekik kehidupan kaum buruh.
Represi untuk Menyelamatkan Modal
Dari sisi kebijakan publik, untuk mengantisipasi situasi ekonomi yang carut marut, tentunya pemerintahan yang baru terpilih nantinya akan mengeluarkan beberapa paket kebijakan ekonomi-politik yang tentunya dalam kerangka penyelamatan krisis ekonomi sesuai kepentingan modal.
Katakan saja dalam rangka menyelamatkan anggaran negara agar tidak mengalami defisit anggaran kita bisa memprediksikan kebijakan apa saja yang akan dikeluarkan, dua hal yang kemungkinan diambil resikonya oleh pemerintah yaitu pertama menambah utang luar negeri baik melalui lembaga-lembaga donor internasional (IMF, WB, ADB) atau langsung membuat kesepakatan bilateral kepada negara-negara investor dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu.
Ketika krisis, negara membutuhkan anggaran lebih untuk menstabilkan ekonomi. Jalan yang umum ditempuh pemerintahan pro-modal adalah mengorbankan rakyat melalui pengetatan anggaran belanja negara. Lalu kemudian serentetan kebijakan yang akan segera dikeluarkan sebagai bagian dari konsekuensi itu semua maka akan terprediksi seperti pada pengalaman sebelum-sebelumnya yaitu menaikan suku bunga, meningkatkan pajak, pencabutan subsidi di sektor publik, privatisasi BUMN, dll. Dan bahkan dampak dari kebijakan pengetatan anggaran bukan hanya pengurangan fasilitas dan tunjangan, akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan akan berujung pada PHK terhadap Pegwai Negeri Sipil (PNS) dalam jumlah yang besar, seperti yang pernah terjadi di Yunani sekitar 5.000 pegawai negara diberhentikan dari pekerjaannya demi menyelamatkan keuangan negaranya yang mengalami krisis.
Sederetan kebijakan tersebut adalah merupakan pil pahit bagi rakyat dan ancaman nyata bagi gerakan buruh, sebab untuk melancarkan kebijakan-kebijakan tersebut pemerintah juga akan menggelontorkan segudang kebijakan yang akan meredam gerakan buruh dan rakyat (seperti UU ORMAS, UU PKB, RUU KAMNAS, RUU Terorisme, UU ITE, dll) yang semakin mempersempit ruang-ruang demokrasi.
Adakah Harapan dari oposisi?
Dari pertimbangan koalisi antar elit politik, seperti yang kita ketahui bahwa sejarah oposisi di dalam percaturan politik di indonesia, tidak pernah ada yg solid, seperti kelakuan partai GOLKAR dan PBB yang berada dikubu opisisi sebelumnya dengan seketika bisa meloncat ke kubu pemerintahan. Jika dilihat dari historisnya, maka tidak menutup kemungkinan Jokowi sebagai presiden yang berkuasa (jika menang di pemilu 2019) dengan dalih untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan demi kepentingan nasional maka akan mengajak kubu oposisi untuk bekerja bersama-sama untuk menghadapi sekelumit persoalan krisis ekonomi dengan menawarkan sederet posisi dan jabatan dalam pemerintahan atau kabinet kerja yang dipimpin oleh jokowi.
Pertanyaannya..? Kepada siapakah jokowi akan menawarkannya dikubu oposisi, mari kita memprediksikannya kembali. Ada 6 partai oposisi diantaranya adalah GERINDRA, PKS, PAN, DEMOKRAT, BERKARYA dan GARUDA. Jokowi dan kelompok politiknya tentu akan memilah berdasarkan kepentingan pragmatis dan orientasi politiknya, kata kuncinya adalah Nasionalis dan sekuler.
Apakah dengan PKS? tentunya tidak mungkin karena PKS merupakan partai yang berbasiskan agama begitu juga dengan PAN. Menguatnya kecenderungan konservatisme agama di konstituen mereka semakin membatasi manuver elit-elit partai tersebut. Lalu, bagaimana dengan Partai Demokrat sepertinya agak berat jika dilihat dari konflik masalalu antara petinggi partainya SBY dan MegaWati, untuk partai BERKARYA dan GARUDA sepertinya belum cukup punya nilai tawar. Dan yang paling memungkinkan untuk dirangkul oleh pemerintahan Jokowi adalah partainya Prabowo, GERINDRA yang paling dekat orientasi pokitiknya Nasionalis dan Sekuler. Meskipun saat ini terkesan seperti lawan politik, namun di titik tertentu jokowi dan prabowo bisa bergandengan tangan. Karena sejatinya mereka berdua terlahir dari kolam yang sama yaitu kelas pro-modal atau borjuis Komprador. Di Pilkada DKI Jakarta, PDI-P dan Gerindra pernah bekerjasama menaikan Jokowi-Ahok pada 2012.
Peluang bagi Gerakan Rakyat
Posisi gerakan buruh dan rakyat haruslah vis a vis berhadap-hadapan dengan pemerintahan yang berkuasa pasca pemilu 2019. Sudah dapat dipastikan siapapun yang menjadi presidennya akan menjalankan agenda Neoliberalisme demi menyelamatkan krisis. Tantangan bagi gerakan rakyat adalah melawan kebijakan-kebijakan yang tentunya akan merugikan rakyat. Kenaikan harga BBM, TDL, kebutuhan pokok, pendidikan mahal, biaya kesehatan mahal, upah murah, sistem kerja kontrak/outsourching, perampasan lahan, penggusuran yang merupakan konsekuensi dari proses liberalisasi (menyerahkan kebijakan ekonomi kepada mekanisme pasar dan meminimalisir peran negara) adalah merupakan ancaman sekaligus tantangan bagi gerakan buruh dan rakyat.
Untuk menghadapi gerkan rakyat, rezim penguasa akan memberi kemudahan bagi tentara untuk merangkul mereka. Ini memperkuat posisi militer guna meredam dan membungkam gerakan rakyat, tingkat represifitas bisa dipastikan akan semakin meningkat dan akan semakin banyak para pejuang buruh dan ativis pergerakan yang akan dikriminalisasi atau menjadi korban kekerasan dikemudian hari.
Kesengsaraan yang dialami oleh rakyat akibat dari kebijakan yang tak berpihak dan hilangnya nilai Demokrasi akan semakin membuka mata rakyat tentang politik yang sebenarnya tidak mewakili kepentingan rakyat. Ini adalah merupakan potensi bagi gerakan rakyat untuk membangun kekuatan politiknya sendiri yang mewakili kepentingan rakyat tertindas.
Organisasi kita akan diuji dan dihadapkan pada situasi yang sedemikian rumit, mampu atau tidaknya kita mengemban tugas sejarah itu tergantung dari kesiapkan dan keyakinan terhadap kekuatan kita sendiri. Kita tidak sedang berandai-andai, akan tetapi kita sedang memprediksikan hal-hal yang akan terjadi dikemudian hari dan menganalisanya sehingga kita benar-benar siap dan tepat dalam menyusun strategi taktik perjuangan. Sekali lagi, “sejarah gerakan 1998 telah membuktikan krisis ekonomi menghantarkan pada krisis politik.” Dan ketika momentum itu benar-benar terjadi, apakah gerakan rakyat akan gagap menghadapi situasi itu atau akan benar-benar siap mengambil alih kekuasaan? Jawabannya ada di pundak organisasi-organisasi gerakan rakyat.
Jakarta, 24 Jan 2019
Penulis Michael Oncom