Kematian 49 orang pekerja PT Panca Buana Cahaya, 1 Orang Pekerja PT Waskita Karya, 1 orang pekerja Jakarta International Container Terminal, 1 Orang Pekerja pembangunan rel Medan Kuala-Namu, dan 1 orang pekerja Mulya Ceramic, dalam kurun hanya 1 pekan membuktikan kepada masyarakat Indonesia bahwa isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan persoalan di tempat kerja yang masih sangat memprihatinkan.
Hal ini terus menerus terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: lemahnya
pengawasan oleh pemerintah di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, masih kurangnya perhatian dari pengusaha yg melihat persoalan K3 sebagai bagian dari biaya serta tidak tersedianya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran K3 dalam regulasi. Sehingga bukan sesuatu yang aneh apabila perusahaan semakin abai terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Angka kematian yang dilaporkan baik oleh media massa, maupun lembaga asuransi hanya cuplikan kecil, tidak lebih dari 10 % dari seluruh Kecelakaan Kerja dan Kematian di tempat kerja yang terjadi. Kalau BPJS Ketenagakerjaan melaporkan pembayaran klaim Jaminan Kematian sebesar 36.453 Kasus sepanjang 2015, atau 33.151 kasus pada April 2016, data tersebut hanya menyentuh permukaan saja dalam permasalahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dapat dibayangkan betapa besarnya jumlah kematian akibat pengabaian
peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja oleh perusahaan jika semuanya terdata secara jelas. Hal tersebut masih belum termasuk tingginya angka kematian karena Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang sampai dengan saat ini belum banyak teridentifikasi.
Disaat investasi untuk pembangunan industri terus dipermudah dengan insentif 16 paket kebijakan ekonomi pemerintah, 16.6 juta pekerja industri yang ada di Indonesia saat ini (BPS: 2017) dihadapkan pada resiko kematian yang terus meningkat. Pada saat pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur lewat kucuran APBN yang terus bertambah, 7,2 Juta pekerja sector konstruksi juga mengalami peningkatan resiko kematian. Karena di sektor konstruksi inilah 31,9 % jumlah kecelakaan kerja banyak terjadi.
47 Tahun yang lalu, karena desakan internasional, Indonesia memiliki Undang-Undang Keselamatan Kerja, UU Nomor 1 Tahun 1970. Hingga kini peraturan yang sama hanya melahirkan satu undang-undang baru, UU Nomor 3 Tahun 1992, Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Undang-undang yang lahir demi melancarkan jualan pemerintah untuk memperoleh investasi.
Kuasa pemerintah yang begitu besar dalam UU nomor 1 Tahun 1970 terbukti hanya mampu melindungi pengusaha. Pasal 15 Undang-undang ini secara jelas mengatakan bahwa pelanggaran terhadap keselamatan kerja adalah pidana ringan. Nyawa buruh yang melayang karena pengusaha yang abai terhadap K3 dan pemerintah yang enggan tegas adalah nafsu tamak dari Undang-Undang yang sudah harusnya usang ini.
Pemerintah Jokowi-JK dengan semboyan “Kerja, Kerja, Kerja” sudah semestinya merubah cara pandang yang merendahkan para pekerja. Kerja harus dibarengi dengan upah yang layak, keselamatan dan kesehatan yang terjamin dan kepastian hubungan kerja yang juga menguntungkan bagi buruh. Kerugian yang di derita perusahaan, lembaga asuransi seperti BPJS yang terus dilaporkan mengiringi peristiwa kecelakaan kerja, sangat tidak sebanding dengan anak-anak yang harus merelakan kematian orang tuanya, keluarga yang kehilangan tulang punggung keluarga. Kerugian pengusaha dan Negara tidak seberapa dibanding masa depan yang terenggut akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Kementerian Ketenagakerjaan sebagai aparat negara yang mengurus ketenagakerjaan tidak dapat lagi dibenarkan berlindung dibalik kurangnya sumber daya manusia untuk mengawasi keselamatan dan kesehatan kerja. Kalau pemerintah saat ini adalah pemerintah “kerja” semestinya buruh dapat dilibatkan aktif dalam Sistem Manajemen K3 yang menjadi amanat PP Nomor 50 Tahun 2012. Buruh harus menjadi sumber alternatif solusi utama dalam setiap permasalahan ketenagakerjaan di Negeri ini.
Undang-undang Dasar 1945 butuh gerakan refomasi setelah 53 tahun untuk bisa di amandemen. Apakah butuh gerakan yang sama dari para buruh dalam 6 tahun ini demi mengubah peraturan untuk melindungi dirinya?
Pemerintah harus serius untuk segera mengubah peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja menjadi peraturan yang melindungi pekerja. Para korban Kecelakaan Kerja dan Penyakit akibat Kerja harus segera ditangani sebagai manusia utuh untuk kembali bekerja dan keluarga korban harus dipastikan terjamin masa depannya.
Untuk itu kami, Aliansi Rakyat Peduli K3 menyatakan sikap dan mendesak pemerintah melalui Kementerian Ketenaga-kerjaan untuk :
1. Tuntaskan Keadilan untuk para korban Kecelakaan Kerja.
2. Perusahaan dan pemerintah harus bertanggung jawab atas tragedi kecelakaan kerja.
3. Pidanakan pemilik perusahaan apabila abai terhadap K-3.
4. Perbaiki sistem pengawasan K-3 di internal pemerintahan.
5. Pemerintah harus membuka laporan pengawasan K3 kepada Publik.
6. Libatkan Buruh, Serikat Pekerja / Serikat Buruh dalam P2K3 – SMK3.
7. Mendorong kemenaker untuk sosialisasi K-3 tidak sebatas d tempatkerja.
8. Hargai Hak Buruh Menolak kerja dalam kondisi tidak aman.
9. Stop mengkambing hitamkan Buruh ketika terjadi Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja.
10. Revisi Undang-undang K-3 beserta aturan pelaksananya.
11. Secepatnya keluarkan Perppu tentang K-3.
“Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah Hak Asasi Manusia”