Buruh.co, Jakarta – Ribuan buruh di Karawang, Jawa Barat, menggelar aksi unjuk rasa menolak omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. RUU yang semula bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) itu dianggap tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, termasuk buruh.
Para buruh berasal dari Koalisi Buruh Pangkal Perjuangan dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia. Koalisi itu terdiri dari di antaranya FSPMI, KASBI, PPMI, dan SPSI sementara buruh KPBI berasal dari Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI), Federasi SERBUK Indonesia, Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB), dan Federasi Perjuangan Buruh Indonesia.
Aksi pada Kamis, 6 Februari 2020 itu, dimulai dengan konvoy motor dari kawasan industri Karawang International Industrial City pada pukul 9. Setelah itu, massa menuju titik kumpul di kompleks pemda Karawang tempat kantor bupati dan DPR Karawang. Para peserta aksi tampak tetap bersemangat melakukan orasi dan agitasi meski hujan mulai mengguyur sejak pukul satu.
Buruh menganggap bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja menunjukan ketidakberpihakan penguasa pada rakyat kecil. “Waktu pemilihan presiden, mereka datang blusukan ke rakyat kecil, ke rakyat-rakyat di kontrakan, tapi hatinya pro pada investasi dan pemodal,” kata perwakilan KPBI Khotiah dalam orasi.
Gerakan rakyat menilai omnibus law tidak disusun secara demokratis karena prosesnya tidak transparan dan hanya melibatkan pengusaha dan segelintir akademisi. Di tengah ketidakjelasan itu, pemerintah menjelaskan sejumlah aturan-aturan yang rencananya diterapkan dan memancing penolakan. Di antaranya adalah upah padat karya dan per jam (di bawah UMP), tunjangan PHK maksimal 6 bulan upah karena pesangon dinilai mahal, dan perluasan kontrak/outsourcing (easy hiring and firing). Selain itu, omnibus law RUU Cipta Kerja berpeluang mempertinggi konflik lahan karena mempermudah penguasaan tanah korporasi melalui konsensi atau izin hingga 90 tahun (sebagaimana dalam RUU Pertananan) dan penghapusan AMDAL.
Para peserta aksi meminta DPRD dan pemda Karawang membuat pernyataan resmi penolakan terhadap omnibus law melalui surat. “omnibus law itu, bukan hanya kaum buruh imbasnya, petani, nelayan, lingkungan hidup kena imbasnya, kami sebagai rakyat dan buruh perempuan mendukung perjuangan kawan-kawan karawang menolak omnibus law, hapus sekarang juga,” seru Khotiah dari mobil komando.
Sementara, Sekretaris Jenderal KPBI Damar Panca menganggap persoalan proses omnibus law ini mencerminkan mampetnya aspirasi rakyat dalam ranah politik. “Harus konsolidasikan segera kaum buruh, rakyat yang lainnya, tani mahasiswa miskin kota dan perempuan. Sudah saatnya kaum buruh menjadi pelpor persatuan melalui partai rakyat indonesia sehingga tidak dimain-mainkan menjadi objek dalam setiap pemilu 5 tahunan,” serunya ketika berorasi.
Setelah didemo, pemda dan DPRD berkomitmen untuk membuat pernyataan menyampaikan penolakan buruh. Aksi ditutup dengan pengumuman bahwa DPRD dan pemda menerima aspirasi. Pemda Karawang akan menyampaikan aspirasi penolakan ke Kementerian Tenaga Kerja dan DPRD ke DPR RI. Masa aksi mulai membubarkan diri pukul 15.00.
Selain itu, aksi juga menghasilkan kesepakatan untuk memulai pembahasan upah minimum sektoral (UMSK). UMSK adalah upah yang lebih tinggi hingga 30 persen untuk sektor-sektor yang dianggap unggulan. Rapat Dewan Pengupahan Karawang pada Jumat, 7 Februari 2020 akan mulai membahas upah itu. Belakangan, muncul upaya menghambat penyesuaian upah di Jawa Barat melalui Surat Edaran soal UMP dari Gubernur Ridwan Kamil yang tidak bersifat mengikat. Namun, perlawanan buruh berhasil membatalkan SE itu dan pemprov Jawa Barat akhirnya mengesahkan Surat Ketetapan yang bersifat mengikat. Padahal, Jawa Barat merupakan provinsi dengan realisasi investasi terbesar pertama di Indonesia dengan nilai Rp 137,5 triliun atau 17 persen total nilai perwujudan investasi di Indonesia.