Serba-Serbi

Abah Yang Saya Kenal

Suara dan kata-katanya bagai sesosok ibu yang mengindung-indung bayi. Sesuatu yang menenangkan. Dia figur yang bersahaja, melindungi nan mengayomi. Begitulah saya menggambarkan dirinya, Dedi Rosadi, pria yang lebih dikenal dengan sebutan “Abah” itu.

Ketenangan dan ketabahannya cukup saya kenal, terutama dalam masa-masa sulit menghadapi PHK PT UCU tahun 2017 lalu. Manakala dia dan kawan kawannya didera masalah berat, kehilangan pekerjaan, disanalah saya melihat kepribadian yang kokoh. Dia kemudian melanjutkan hidup sebagai ojek online.

Pria kelahiran Majalengka 10 November 1975 ini, aktif di organisasi sebagai ketua koperasi dan sekaligus bekerja untuk Departemen Ekonomi Pengurus Pusat FPBI. Tugasnya adalah memastikan bagaimana periuk organisasi tetap terisi. Bagaimana logistik tetap tersedia ditengah padatnya kerja advokasi dan pengorganisiran massa.

Abah juga dikenal sebagai aktivis yang militan. Rajin terlibat dalam setiap gerakan aksi maupun pelatihan-pelatihan di organisasi. Abah tercatat juga tergabung dalam barisan GODAM. Oleh karenanya bersama kawan-kawan lain dia sering ikut serta dalam pengawalan aksi selayaknya May Day atau IWD.

Pada aksi pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) 78 di muka istana, saya ingat betul bagaimana ketangkasan Abah menjaga barisan. Saat kami dihajar water canon dan tembakan gas air mata, Abah turut menyelamatkan kawan- kawan yang tercerai-berai dan kocar kacir. Dia memastikan kawan-kawannya baik-baik saja.

Tidak hanya di tengah aksi demonstrasi belaka, Abah memang dikenal gemar menolong dalam berbagai kesempatan. Kebaikan hati dan uluran tangannya kerap kami rasakan. Semisal saat kami melakukan pelatihan GODAM di Cilember. Ketika ada kawan yang sakit, Abah rela membawakan tas dan semua perlengkapan untuk menyusuri jalan setapak. Pun disana dia mencoba menghibur kawan-kawan dengan cerita jenakanya hingga tiba di bukit tujuan.

Lantas kabar tak baik itu tiba. Abah terjatuh saat membetulkan genting rumah. Selama beberapa hari Abah harus menghadapi masa kritis. Dan akhirnya pada 15 Mei 2019 Abah menghembuskan nafas terakhirnya. Pada pukul 02:26 dini hari, kita kehilangan satu lagi kawan yang berdedikasi.

Abah meninggalkan kita semua, kawan-kawan seperjuangan, istri dan kedua anaknya. Kita akan terus mengenang kelembutan dan juga ketegasannya. Ketegasan; sebagaimana pernah dia pertunjukkan saat menuntut hak. Mendirikan tenda perjuangan di tepi pabrik, beratap terpal, beralas kardus dan koran, sampai berbulan-bulan lamanya. Sampai tuntutan dimenangkan.

Saya selalu ingat kepadanya, duduk di ruang-ruang diskusi berteman sebatang rokok dan segelas kopi. Disana dia akan melepaskan gagasan-gagasan tersembunyinya. Dilontarkannya dengan yakin, berharap itu mampu menjadi benih harapan yang selanjutnya tumbuh dan berbuah. Abah juga mengajarkan kita untuk berempati, peduli dan welas asih. Abah adalah sosok yang berusaha mengejahwantahkan “sambung pikir dan sambung rasa”, terus merangkul.

Waktu telah memberi banyak kenangan. Abah adalah kenangan manis. Terlalu manis untuk dilupakan. Dialah juga dendang riang di tenda perjuangan atau pun sendu pilu lagu darah juang. 1 Mei 2019 lalu, menjadi jabat tangan terakhir bagi Abah kepada kami. Lengkung senyum bibirya masih tertinggal di hati, begitupula cita-cita besarnya.

Akhir kata, selamat tinggal dan  selamat  jalan, Abah. Tugasmu telah paripurna. Tenanglah disana. Perjuangan akan kami teruskan.

****

Penulis: Lami, rekan mendiang

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button