Silahkan kita cek beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia. Bukan hanya terjadi di Tangerang terhadap buruh PT Panarub Dwikarya yang dilarang melakukan aksi di depan pabrik karena adanya peraturan Walikota yang tidak memperbolehkan aksi di hari Sabtu dan Minggu. Melokalisir aksi juga banyak dilakukan di berbagai daerah yang berlaku bagi buruh, petani, nelayan, pelajar, perempuan, masyarakat adat, atau kepada kolompok minoritas.
Prinsipnya, siapapun itu, baik individu ataupun kelompok yang berhadapan dengan kepentingan modal atau penguasa, akan dihadapkan pada kekerasan negara melalui aparatnya. Penamparan polisi kepada Emelia Yanti, Sekjend Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), adalah contoh terbaru perilaku kekerasan aparat kepada rakyat yang hanya ingin menyampaikan pendapat.
Tak hanya sekali juga kita mendengar kekerasan atas nama pembangunan, atas nama perbaikan ekonomi, bahkan atas nama undang-undang, lalu mengabaikan kemanusiaan. Itulah potret nyata yang kita alami di negeri ini.
Kenapa hal ini kerap terjadi? Tentu banyak faktor yang melatarbelakanginya dan penting untuk kita ulas secara mendalam. Negara manapun yang menganut sistem kapitalisme akan menggunkan cara-cara seperti ini, cara-cara kekerasan.
Kapitalisme yang mengabdi pada budaya individual, persaingan dalam bidang apapun, konsumtif, komersialisasi pendidikan, sejarah versi negara, berita, film, tehknologi, dan sebagainya akan mengacu pada kepentingan pemodal dan birokrasi negara, atas hitung-hitungan keuntungan, atau profit. Yang kemudian berdampak pada kehidupan rakyat yang buruk, alam yang rusak, dan sisi kemanusiaan yang hilang.
Sejarah gerakan di Indonesia sebelum ‘65 sangat diperhitungkan baik secara politik maupun idiologi. Namun pasca-65, kemudian dihancurkan oleh provokasi Amerika sehingga tragedi kemanusiaan di bangsa Indonesia terjadi, ratusan ribu sampai jutaan orang dibantai.
Orde lama jatuh, lalu pemerintahan Orde Baru berkuasa. Disinilah awal mulanya pemodal-pemodal asing masuk, disinilah atas nama pembangunan, demokrasi dikebiri, seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat dihancurkan.
Reformasi yang berhasil menumbangkan pemerintahan yang otoriter hanya mampu menggulingkan kepemimpinan, dan tidak sanggup sampai pada pengambilalihan negara oleh kelompok organisasi yang mempunyai konsep dan program yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Ya, ruang demokrasi yang terbuka lebar, kemudian memunculkan organisasi kecil, besar, lokal, maupun nasional, diberbagai sektor. Bak jamur di musim hujan, Lembaga Swadaya Masyarakat juga bermunculan. Begitu pula dengan serikat buruh, yang tumbuh subur, terpecah, bersatu, kemudian bersatu kembali.
Individualisme Dalam Perjuangan Upah
Karena sistim sosial yang individual, maka terbangun persaingan antar individu, mengincar jabatan dan kekuasaan, kemapanan, bahkan ada yang masih menganut feodal. Dan sering kali persoalan ini menimbulkan masalah besar dalam satu kelompok.
Sifat demikian yang memang dengan sengaja dimunculkan oleh kapitalisme, kemudian membawa efek pada gerakan rakyat. Cara berjuang strategi taktiknya berbeda beda, menganggap apabila gerakan dengan gerbong dan mempunyai basis masa besar, maka yang kecil harus ikut yang besar. Sementara yang besar kerap kali merasa besar kepala, dan enggan menurunkan egonya.
Sementara anggota masih banyak yang berpikir masuk dalam organisasi untuk memperjuangkan dirinya dan keluarganya saja. Setelah membayar iuran, punya kartu angota, kemudian berpikir kalau ada masalah nanti pengurus atau perangkat organisasi harus membela dan menyelesaikannya. Bahkan tidak jarang anggota hanya sabatas membayar iuran saja sulit, apalagi mengikuti agenda agenda organisasi.
Di sisi lain, sistem pengupahan di perburuhan, disadari atau tidak telah membuat pengelompokan perjuangan secara parsial, bergerak masing-masing, bahkan membuat persaingan nominal sektornya dalam penetapan upah.
Sering kita temukan ketika dalam perjuangan tuntutan kenaikan upah, sulit sekali bergerak bersama. Namun ketika menyangkut upah sektoral, maka akan bergerak. Lagi-lagi bergerak atas kepentingan sektornya yang bisa kita simpulkan adanya ego sektoral yang muncul dalam perjuangan.
Demikian pula dengan perjuangan upah di tingkat daerah. Sentimen kelokalannya muncul, seperti diajak untuk bersaing dan berlomba untuk mendapatkan upah daerah yang besar. Ketika satu daerah mendapatkan upah yang besar, maka akan mem-bully daerah lain yang mendapatkan upah lebih kecil.
Catatan lain yang penting bagi gerakan buruh adalah sifat gerakan yang hanya sebatas pada mengktisi, menolak, aksi mogok, protes, namun tidak mampu memberikan konsep dan gagasan kuat yang membumi sampai akar rumput hingga mendapatkan dukungan besar dari rakyat.
Sifat yang sektarian juga muncul dari gerakan kita hari ini, masih banyak para pimpinan gerakan yang menganggap persoalan sektor buruh tidak ada kaitanya dengan petani dan kelompok lain. Sifat ini membawa gerakan buruh terpisah dengan gerakan di sektor lainnya, sehingga berkonsekwensi pada kesadaran anggotanya. Bahwa buruh harus berjuang dengan persolan buruh saja.
Bergerak kalau ada hak buruh yang dilanggar, namun ketika petani, nelayan, rakyat yang digusur paksa dengan kekerasan, masih merasa acuh seolah hal itu bukan persoalannya.
May Day 2017
May Day, atau Hari Buruh Sedunia mempunyai nilai sejarah penting sebagai hari perlawanan gerakan buruh yang berhasil memperjuangkan sistem kerja 8 jam. Upaya untuk meredupkan May Day sebagai momentum perlawanan, banyak dilakukan oleh kapitalisme dan pemerintah dengan melaksanakan kegiatan bakti sosial, perlombaan, pertunjukan musik, dan lain-lain.
Hal ini memang sengaja dilakukan, dengan tujuan untukmenghilangkan nilai sejarah perlawanan besar antara kelas buruh/pekerja dengan pengusaha yang berkolaborasi dengan pemerintah.
Aksi May Day berkali-kali saya ikuti, dan hingga kini masih berharap May Day bukanlah sekadar uji kekuatan dalam bentuk panjangnya barisan massa, besar mobilisasi massa, gagah-gagahan, isu yang berbeda-beda, dan lain sebagainya. May Day harus kita maknai sebagai sebuah momentum persatuan dan perjuangan bersama buruh dan rakyat untuk sebuah sistem dan tatanan yang lebih adil dan beradab.
Beberapa catatan di atas, saya maksudkan untuk mengkualitaskan gerakan, bergerak bersama, mempunyai isu bersama yang menohok negara, dan mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat. Ini penting, karena kita sadari bahwa penguasa dan aparatusnya tidak berpihak pada rakyat, dan lebih berpihak pada kepentingan modal.
Artinya, butuh kekuatan besar, butuh persatuan, butuh penyatuan berbagai kelompok, atas nama perubahan yang lebih baik untuk kehidupan kedepan, serta meninggalkan catatan sejarah baik di masa mendatang. Semoga bisa bertemu di medan juang dengan pimpinan yang tidak takut dan punyai gagasan besar.
Selamat May Day
Departeme Pengembangan Organisasi, Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia
Tulisan ini pertama kali dimuat di Kabarburuh.com dan dimuat ulang di sini untuk tujuan pendidikan.