Pada peringatan Hari Buruh Sedunia tahun ini, KPBI menyampaikan posisi politiknya terkait perkembangan situasi internasional dan nasional terakhir. Kondisi yang sulit akibat pandemi membuat KPBI menyesuaikan cara merayakan May Day. Berikut adalah naskah lengkap pidato Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah, yang disampaikan hari ini pada pukul 14.00.
Kawan-kawan buruh dimanapun berada,
Tahun ini adalah tahun yang tidak biasa bagi kita semua. Untuk kali pertama sejak Konfederasi berdiri, dan sejak gerakan buruh menyusun trayek baru sejarahnya selepas kediktatoran Orde Baru, kita dipaksa memperingati Hari Buruh Se-Dunia dengan cara berbeda. Jamaknya, ketika May Day tiba, ratusan ribu buruh akan berbaris pada ruas-ruas jalan utama di sekujur penjuru negeri. Pekik juang, nyanyian perlawanan, serta pidato politik bergemuruh tak putus-putus. Bendera serikat buruh berkelebatan, kepalan tinju diacungkan dan wajah-wajah paling bersemangat dari kelas pekerja akan tertaut satu sama lain dalam barisan. Persis di hari itu, kita bukan saja merasakan berseri-serinya perjuangan buruh, namun juga mendapati pertalian kita sebagai sebuah kelas.
Hari Buruh Sedunia ialah rajutan raksasa yang menghubungkan kelas pekerja dari seluruh benua. Apapun warna kulitnya, latar etnisitas, bahasa dan dasar kepercayaan teologisnya. May Day menyatukan Santiago, seorang buruh baja di Altos Horno Meksiko, dengan Chou Mei perempuan tenaga upahan di pabrik Apple, Foxcoon, Shenzhen. May Day menautkan Bokamoso pekerja tambang emas di Westonaria, Afrika Selatan, ke diri Subagyo buruh Klaten yang menyabung hidup di perusahaan plastik Kapuk, Jakarta Barat. Mendekatkan Tasini TKW asal Majalengka yang dianiaya majikan di Arab Saudi, dengan Jamal, migran Afrika Utara yang menghadapi gelombang kebencian rasialis di sudut Eropa.
Dan hari ini kita tidak bisa melakukan May Day yang seperti itu. Tidak bisa bersorak-sorai di seberang istana negara atau kantor gubernur. Tidak bisa melampiaskan amarah di belakang pagar gedung parlemen atau di kejauhan pendopo Bupati. Tidak bisa berangkulan hangat, menebar senyum, saling sapa atau minum kopi bergelas plastik dengan sesama rekan.
May Day kali ini kita harus menyesuaikan diri dengan kondisi dunia yang tengah dibekap pandemi. Kita memutuskan untuk tidak menerabas resiko-resiko yang tidak perlu. Keutuhan organisasi di saat seperti sekarang ini menjadi pertimbangan utama dan mutlak adanya. Kemampuan kita untuk berdaptasi dengan perkembangan situasi adalah bagian penting dari menjaga masa depan perjuangan. Platform digital menyediakan alternatif cara memperingati May Day di saat pandemi menyebar dan masa Ramadhan berlangsung.
Seperti diketahui, virus Corona telah menyebar ke sedkitnya 185 negara. Tak ada satupun benua yang steril dari jejak Covid-19. Lebih dari 3 juta orang telah terinfeksi, di atas dua ratus ribu jiwa diantaranya berakhir dengan kematian. Selama pendemi ini mengamuk, krisis kesehatan publik dipertontonkan di berbagai negeri. Pemerintahan-pemerintahan kapitalis tampak tidak kompeten mengambil tindakan terkoordinasi untuk melindungi rakyat dari serbuan virus. Rapuhnya sistem kesehatan yang selama bertahun-tahun dibangun di atas pondasi komersialisasi dan kebijakan pengetatan (austerity program) terkuak kebangkrutannya di tengah amuk pandemi.
Jutaan rakyat diombang-ambingkan keadaan, seturut tenaga medis yang bergelimpangan menjadi korban. Sistem pecegahan sebagai bagian dari arsitektur kesehatan publik tidak mendapatkan perhatian yang baik. Sistem pencegahan yang keropos membuat satu serangan virus yang ganas, membuat penyakit merajalela dalam kecepatan yang mengerikan. Di negeri kita, anggaran kesehatan masih kalah dengan anggaran birokrasi. Untuk kesehatan tersedia 132 trilyun Rupiah, sementara demi merawat birokrasi menguras uang besar 261 trilyun. Bagaimana bisa kesehatan 260 juta penduduk hanya berharga separuh saja dari 4,2 juta birokrat? Kita pun tidak mendapati sosok Kadiroen sebagaimana yang ditulis Semaoen dalam novelnya, sosok pegawai pemerintahan yang hatinya tertambat ke penderitaan rakyat.
Wajah bopeng kekuasaan diperlihatkan di berbagai negeri. Ada pejabat yang mulanya menjadikan Covid-19 sebagai bahan percandaan, sungguh selera humor yang buruk, hingga kepala negara yang menyarankan warganya menenggak disinfektan. Di Indonesia politik anggaran tak sepenuhnya berpihak ke kepentingan kesehatan publik, bahkan ketika pandemi sudah mengamuk hebat. Dari anggaran penanganan Covid-19 pada APBN Perubahan 2020 sebesar Rp 405,1 triliun, anggaran dukungan industri mencapai 37% dari total belanja. Sementara anggaran kesehatan hanya 18,5%, lalu anggaran jaring pengaman sosial tercatat sebesar 27,2% dari total belanja penanganan Covid-19. Politik anggaran yang semacam ini menambah satu lagi episode buruk penanganan pandemi: dimulai dari penyangkalan, gestur meremehkan, tidak diberlakukannya karantina wilayah dan selanjutnya pengaturan kemana prioritas uang akan dibelanjakan.
Pandemi Covid-19 juga memperlihatkan pendekatan diskriminatif, sesuatu yang khas dalam sistem yang membagi masyarakat dalam kelas-kelas sosial. Sementara pemerintah dengan nyaring menyerukan Work From Home (Kerja Dari Rumah), jutaan buruh-buruh lapisan bawah masih terkosentrasi di pabrik-pabrik dan tempat kerja. Work From Home hanya bisa berlaku bagi selapisan ASN, pekerja kerah putih, kelas menengah dan orang-orang yang memiliki privilege tertentu. Resiko untuk terpapar virus menjadi pertaruhan harian bagi tenaga upahan di banyak titik. Lebih jelek lagi, tidak semua perusahaan menjalankan protokol kesehatan secara maksimum, ini adalah kabar buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja, sekaligus menunjukkan sikap inkonsisten pemerintah. Persis disini, kita bisa membaca sila kelima dari dasar negara ini dengan perasaan hampa, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menguap di saat normal, pun di kala pandemi.
Pandemi yang menerpa dunia bukanlah peristiwa anyar dalam sejarah peradaban umat manusia.
Satu abad silam, dunia pun pernah dikerubungi pandemi, sesuatu yang mirip dengan yang sekarang sedang kita alami. Pernah ada suatu masa ketika penyakit bernama Flu Spanyol mengamuk hebat dimana-mana. Sekurang-kurangnya 50 juta orang tewas dimangsa pandemi pada waktu itu. Nyawa manusia berguguran di Pensylvania hingga Bombay. Beberapa diantaranya berakhir di kuburan massal. Tahun 1918 lantas menjadi tahun kelam dunia. Perang Imperialis mengirim jutaan orang ke parit-parit kematian dan berdampingan dengan itu Flu Spanyol melancarkan serangan kesehatan berbahaya. Kelas pekerja menghadapi situasi yang amat sulit, jauh lebih sulit dari yang kita rasakan sekarang.
Apakah gerak sejarah lantas terhenti oleh itu semua?
Jawabnya, tidak sama sekali!
Ratusan ribu buruh-buruh industri baja di seluruh Amerika melakukan pemogokan. Memprotes intensifikasi eksploitasi oleh kaum pemodal. Pemogokan ini disusul pemogokan serupa di berbagai sektor, pertambangan dan garmen. Pemogokan Seattle tak lama kemudian terjadi. Empat juta buruh terlibat pemogokan alias seperlima dari keseluruhan populasi pekerja di Amerika. Itu semua terjadi hanya selisih setahun setelah puncak pendemi Flu Spanyol.
Awal abad 20 juga mencatatkan diri sebagai salah satu periode kebangkitan gerakan kelas pekerja di berbagai negeri. Tanpa terkecuali di Indonesia. Untuk menyebut sedikit diantara peristiwa-peristiwa penting di tanah air pada masa itu, tahun 1921 meletus pemogokan buruh-buruh pelabuhan Kalimas di Surabaya. Setahun berselang, pemogokan buruh pegadaian menyebar seantero Jawa. Sudah lama kekuasaan kolonial tidak dibuat bergetar, dan kelas buruh menyajikan getaran hebat yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari sini adalah, dibalik semua keadaan sulit, selalu terbuka peluang kebangkitan di masa datang. Langit tidak selalu berwarna biru, kadang ia berubah pekat, namun setelah badai berlalu, disana akan muncul pelangi. Pejuang termasyur Afrika Selatan, Nelson Mandela, pernah memberi petuah, keberhasilan tidak bisa dipisah dari seberapa sering kita jatuh dan kemudian bangkit kembali. Dan dia tak berbohong dengan kata-katanya, demi mencapai Afrika Selatan yang bebas dari Apartheid, Mandela bersedia di penjara 27 tahun.
Kita akan bangkit! Sama seperti pejuang-pejuang hebat dimasa lalu bangkit!
Kawan-kawan seperjuangan, yang bernaung dalam bendera merah KPBI,
Dalam May Day kali ini kita sedang menghadapi tantangan serius terkait Omnibus Law. Upaya mengundang investasi secara ugal-ugalan membawa konsekuensi yang serius bagi rakyat. Omnibus Law memainkan peran yang agresif. Lompatan jauh negara untuk menjawab kondisi-kondisi perlambatan ekonomi di dalam negeri, menjadi cara yang gelap mata dan tak menyisakan kepentingan rakyat di tempat yang seharusnya. Omnibus Law ketenagakerjaan akan memberangus jaminan pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security) dan jaminan perlindungan sosial (social security).
Selama berbulan-bulan, berbagai lapisan rakyat, terutama kelas buruh, telah melakukan mobilisasi secara aktif di berbagai kota untuk menolak Omnibus Law. Hanya pandemi yang kemudian bisa menghentikannya.
Persoalan Omnibus Law tidak boleh disempitkan semata-mata di kluster ketenagakerjaan. Kelas buruh harus melihat masalah ini dalam prespektif yang lebih luas. Ombinus Law adalah paket regulasi yang menghantam lapisan rakyat secara luas. Omnibus Law melegitimasi investasi yang dapat merusak lingkungan. Percepatan krisis lingkungan dan bencana ekologis bisa mewujud dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Undang-Undang sapu jagat ini, bila ia disahkan, akan mempertegas orientasi sistem pendidikan sebagai penyedia tenaga murah, mempermudah perampasan tanah, serta memiskinkan perempuan dan masyrakat adat. Di bawah reformasi hukum yang celaka ini, potensi kriminilasisasi terhadap rakyat yang mempertahankan hak-hak hidupnya juga akan menganga lebar.
Pada May Day tahun ini kita harus menegaskan tuntutan agar pemerintah serta DPR menghentikan seluruh proses pemabahasan Omnibus Law dan mencabut semua kluster yang mendatangkan malapetaka bagi sendi-sendi kehidupan rakyat. Negara wajib memberikan focus dan mengerahkan segala daya upaya bukan pada Omnibus Law, melainkan kepada penanganan pandemi Covid-19. Tak ada yang lebih penting dibandingkan keselamatan rakyat. ‘Salus populi suprema lex esto’, kata Cicero.
Kawan-kawan barisan pejuang rakyat,
Yang keberaniannya tertempa palagan juang dan hatinya disepuh kepekaan akan derita manusia.
Kita sekarang hidup dalam situasi dimana krisis kapitalisme bergerak lebih kronis dibandingkan sejarah krisis di periode sebelumnya. Sejak krisis tahun 2008 meletus di Amerika, wajah dunia tak pernah lagi sama. Periode negatif yang panjang dipertontonkan dengan melambatnya angka pertumbuhan ekonomi, meningkatnya skala pengangguran, membengkaknya volume hutang, ketidaksabilan politik, perang proxy, Brexit, mewabahnya rasisme dan xenophobia, serta ketegangan dagang antara Amerika dan China, sesuatu yang selanjutnya biasa kita sebut Perang Dagang. Lembaga-lembaga ekonomi dunia belakangan tahun tak bisa lagi mengumbar optimisme berlebihan akan prospek angka pertumbuhan. Jurnal-jurnal keuangan memaparkan simpulan-simpulan yang hampir senada satu sama lain: kapitalisme tengah sakit keras, untuk tidak mau menyebutnya sekarat. 90% ekonomi dunia melambat secara bersamaan, pertumbuhan paling rendah selama satu dekade terakhir terjadi!
Di dalam negeri kita menyaksikan kemacetan yang serupa. Sejak Tembok Berlin runtuh dan Amerika menjadi penguasa tunggal, dunia telah terintegrasi dalam pasar global. Bila satu katup rusak, kinerja mesin akan terganggu secara keseluruhan. Dan ini bukan hanya satu katup yang bobrok, katup-katup utamanya bahkan telah berkarat. Lima tahun pemerintahan Jokowi menunjukkan kepada kita, bagaimana perlambatan ekonomi berlangsung di dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi tertekan kuat, tidak pernah berada di atas 5 %. Mega proyek infrastruktur tidak sanggup segera mengerek angka pertumbuhan, alih-alih malah memperbesar skala hutang. Neraca perdangangan berulang-ulang mengalami defisit, April tahun lalu bahkan mencetak rekor 2,5 US Dollar.
Ledakan resesi ekonomi sedang menanti dengan ancaman besar. Akan ada dentuman keras, dimana kelas pekerja akan menjadi korban utama. Mengenai gerak krisis ekonomi kali ini, akhir Maret lalu, professor ekonomi dan sekaligus analis IMF dan Bank Dunia, Nouriel Roubini, menjelaskan. Guncangan ekonomi global akibat pandemi Corona bergerak lebih laju dan ganas dibandingkan krisis keuangan global tahun 2008, bahkan jika disetarakan Depresi Besar di dekade 1920-an sekalipun. Pada dua momen krisis hebat tersebut, bursa saham ambruk 50 persen atau lebih; pasar kredit membeku, menyusul kemudian kebangkrutan massal perusahaan-perusahaan, dan lonjakan angka pengangguran di atas 10 persen, serta PDB tahunan berkontraksi 10 persen atau lebih. Tapi semua drama kemerosotan ekonomi tersebut membutuhkan setidakmya waktu tiga tahun kalender untuk bisa terlihat. Dalam krisis sekarang ini, kondisi makro ekonomi dan sektor keuangan yang mengerikan langsung nampak hanya dalam hitungan tiga minggu saja.
Di Indonesia, menurut keterangan Menaker sudah lebih dari 2 juta buruh di-PHK dan dirumahkan hingga awal April. Kelas pekerja memasuki gelanggang krisis tepat ketika mereka mendapatkan pengumuman dari HRD atau majikan, bahwa bulan depan mereka sudah tak bisa lagi bekerja. Suasana muram ini akan semakin pekat jika kita menengok lapisan pekerja yang tersebar di ‘Gig Economy’. Jutaan ojol terpuruk pendapatannya, di lempar dalam kondisi tanpa kepastian di jalanan. Sementara salah seorang pendiri start up transportasi online tetap utuh kekayaannya, sembari duduk nyaman di kursi menteri.
Hari ini, konsentrasi kekayaan sebagai bagian inheren dalam kapitalisme semakin ditunjukkan secara telanjang. Aset 26 orang terkaya di dunia setara harta separuh warga dunia. Satu orang Jeff Bezos, pemilik Amazon, menguasai kekayaan yang sederajat dengan APBN kita. Pendapatan seorang Youtuber lokal di tahun 2019, sejajar dengan UMK selama 12 abad seorang buruh di Jogjakarta. Harga satu tas ekslusif milik sosialita Amerika berumur 22 tahun seperti Kylie Jenner, setara nilainya dengan upah bulanan 1700 buruh di ibukota Jakarta. Kini gap kekayaan antara Si Kaya dan Si Miskin tidak lagi cukup diibaratkan dengan memakai frasa ‘jurang pemisah’. Kesejangan yang terbentang sudah setara jarak antar Tata Surya. Kaum 1 % ini sudah keterlaluan! Kapitalisme tidak menjawab apa-apa perihal Rasio Gini.
Setahun yang lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa merilis data, ada lebih dari 821 juta orang menderita kelaparan, kerawanan pangan, dan gizi buruk di seluruh jagad raya. PBB mencatat, jumlah ini terus meningkat selama tiga tahun terakhir. 40% penduduk Amerika kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, persis ketika perusahaan raksasa seperti Unilever mengklaim sanggup menjual barang kebutuhan harian ke 2,5 milyar penduduk dunia. Juni tahun lalu WHO menyebut 1 dari 3 penduduk dunia tidak memiliki akses yang aman terhadap air minum, sementara pabrikan air mineral seperti Danone terus meluaskan tentakel bisnisnya dengan menguasai sumber-sumber mata air di berbagai negeri Dunia Ketiga. Ketimpangan kepemilikan lahan juga terjadi di pedesaan Indonesia, rata-rata luasan lahan petani berada di bawah 1 hektar, angkanya mencakup 0,6-0,8 Hektar. Sempitnya lahan petani berdampingan dengan monopoli tanah, dimana penguasa-penguasa HGU bisa mengontrol ratusan ribu hektar tanah untuk kepentingan bisnis mereka.
Perubahan iklim juga terjadi akibat efek rumah kaca, kerusakan fungsi hutan, penggunaan karbon dan gas buang industri. Kapitalisme yang tamak, merusak ekosistem dengan buas, ini akan menjadi salah satu faktor munculnya pandemi. Eksploitasi sumberdaya alam dalam skala yang tak pernah terjadi sebelumnya dan nihil orientasi ekologis, membuat ancaman wabah semakin membesar di banding era-era sebelumnya. Perusahaan daging skala besar tak cukup memiliki kepedulian akan potensi penyebaran virus. Provinsi Hubei, tempat Wuhan berada, adalah salah satu dari lima produsen babi terbesar di China. Ribuan ternak terkurung dalam kepadatan tinggi, peternakan industri menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi evolusi patogen baru.
Semua kondisi buruk dan barbar ini mengingatkan kita kepada ucapan mendiang Fidel Castro,
“Kapitalisme tidak memiliki nilai moral dan etika, segalanya dijual. Mustahil untuk mendidik orang di lingkungan seperti itu; orang menjadi egois dan kadang berubah menjadi bandit.”
Kawan-kawan senasib sepenanggungan,
Dimana masing-masing kita memimpikan peradaban baru yang berkeadilan dan bermartabat.
Masalah-masalah fundamental yang berakar pada sistem yang membenarkan eksploitasi manusia terhadap manusia, demi laba dan akumulasi modal, sistem yang mengabsahkan kontrol segelintir orang terhadap kehidupan mayoritas rakyat, telah telah ada sejak 1 Mei 1886, waktu darimana peringatan Hari Buruh Se-Dunia berasal. Kita memang tidak lagi bekerja 12 hingga 16 jam sehari, namun kondisi kelas pekerja di abad ini masih berisisan dengan pekik kemarahan di Haymarket pada penghunjung abad 19. Bahwa kelas pekerja dikuras tenaganya dan dipinggirkan secara massal. Nyanyian demonstran di Haymarket, Chichago, 134 tahun lalu masih tertambat di hati kita semua, kelas pekerja seluruh dunia.
Menengok nun jauh di jaman silam. Pada tahun 73-71 sebelum masehi, para budak menggelar perlawanan hebat terhadap kekuasaan terkuat di muka bumi saat itu, Romawi. Sejarah menyebutnya sebagai Perang Budak Ketiga. Spartakus kemudian dikenang sebagai pimpinan perlawanan, harum semerbak namanya. Perlawanan ini memang dapat dipadamkan. Namun, sekarang lihatlah, seluruh jejak purbadakan primitif sudah musnah di atas dunia. Sesuatu yang dahulu dicita-citakan Spartakus dan kawan-kawannya. Perlawanan Spartakus menginspirasi banyak penulisan sastra dan politik, menjadikannya sebagai pahlawan rakyat baik di kancah budaya kuno maupun modern.
Saya ingin bilang, bahwa tidak ada tidak mungkin dalam perjuangan! Jika perbudakan primitif dengan pasar-pasar manusia yang diperdagangan secara telanjang, dapat diratakan tanah oleh sejarah, maka tak ada dalih perbudakan modern tak bisa lenyap. Perbudakan modern bernama Kapitalisme tidak mungkin abadi! Kita harus percaya dunia baru bisa tiba! Tatanan yang lebih manusiawi akan disusun ulang oleh sejarah.
Kita harus mendapatkan kesimpulan-kesimpulan akurat atas peristiwa-peristiwa penting pada jaman kita. Kita harus nyatakan tanpa keraguan, dunia tak mungkin lagi dikelola dengan cara-cara usang! Cara-cara yang dikhotbahkan Montesquieu atau Adam Smith. Kita juga tak butuh lagi doktrin ekonomi yang digodok di Universitas Chicago oleh Milton Friedman, yang kemudian diinjeksikan ke seluruh dunia dalam paket kebijakan Neoliberal. Kapitalisme telah gagal! Ia irasional secara teori dan barbar dalam praktek.
Kita juga tak menghendaki dunia yang dilepas dalam perlombaan gila-gilaan dalam perburuan laba. Kita sudah muak melihat prasangka-prasangka purbakala seperti sektarianisme, bigotry, rasisme, sikap anti sains dan kebencian berbasiskan gender yang tumbuh subur dalam tatanan hari ini. Kita sudah letih menyaksikan perang pecah setiap dekade demi memperebutkan sumber-sumber kekayaan alam. Kita membutuhkan tata kelola baru untuk mengatur hubungan manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Era dimana kebebasan swasta bisa mengangkangi keselamatan periuk nasi jutaan orang, sudah waktunya diakhiri. Era tersebut bukan saja telah kadaluarsa dan terbukti gagal, pun membawa peradaban manusia pada kerusakan-kerusakan yang akut. Kita membutuhkan ekonomi yang terencana,. Perekonomian yang disusun berdasarkan kebutuhan konkrit rakyat dan melibatkan partispasi rakyat, bukan menyerahkan semua hajat kebutuhan kepada mekanisme pasar. Kita memerlukan tata kelola baru dimana partisipasi rakyat menjadi elemen utama penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Kita harus memikirkan jalan baru umat manusia dalam mengurus ekonomi.
Kawan-kawan sekalian,
Buruh, petani, mahasiswa dan rakyat jelata dimanapun berada.
Apa yang harus kita lakukan kedepan? Pertanyaan ini adalah pertanyaan kaum pergerakan. Menghadapi ancaman kerusakan ekonomi dan dampak-dampak pandemi kdepan, kita harus menyatukan tekad dan tindakan.
Pertama, perkuat solidaritas dan kerjasama antar rakyat.
Intensifkan dan masifkan tindakan saling bantu diantara rakyat dan organisasi perjuangannya. Kerjasama ini bisa mencakup upaya mengatasi ancaman krisis pangan, penyediaan kebutuhan pokok dan pembelaan terhadap hak-hak dasar rakyat.
Kedua, percepat konsolidasi gerakan buruh progresif. Kekuatan buruh terlepas dari semua kekurangannya, masih merupakan kekuatan yang paling terstruktur dan memiliki cakupan massa terorganisir yang paling luas diantara kekuatan rakyat. Konsolidasi buruh progresif harus menjadi pilar utama dalam upaya menyatukan kekuataan rakyat untuk perjuangan penyelamatan rakyat menghadapi ancaman kerusakan kedepan.
Ketiga, bangun persatuan luas diantara kekuatan-kekutan organisasi rakyat.
Ini adalah momen dimana tuntutan dan kebutuhan persatuan kekuataan rakyat menjadi lebih mendesak dari sebelum-sebelumnya. Organisasi buruh, petani, kaum miskin kota, pemuda, perempuan, nelayan mahasiswa dan lapisan rakyat miskin lain, harus bergandengan tangan. Satukan platform, satukan wadah, satukan langkah juang!
Demikian pidato May Day tahun 2020. Kepalan tangan kiri kita masih mengudara, ada tugas juang yang menanti kedepan. Jangan surut! Rakyat pasti menang!!
Hidup Rakyat!
Hidup Buruh!
Hidup Tani!!
Hidup Kaum muda!
Hidup perempuan!!!
Hidup seluruh rakyat jelata Indonesia!!
Rakyat pasti menang!