2,8 Juta Pekerja Di-PHK dan Dirumahkan, Segera Akhiri Kerja Dari Rumah Untuk Kemenaker!

 

Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah, kembali mengeluarkan pernyataan keras. Situasi ketenagakerjaan yang memburuk akibat pandemi, membuat pria asal Payakumbuh ini tidak bisa menahan kegeramannya. Sebelumnya, sebagaimana dilansir berbagai media, Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan, Bambang Satrio Lelono, menyatakan lebih dari 2,8 juta pekerja terkena PHK atau dirumahkan selama pandemi.

Angka tersebut tampaknya belum akan berhenti, seiring laju pandemi yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Kini kehidupan publik seolah dipertontonkan adu pacu antara peningkatan pasien Corona dan korban PHK. Keduanya adalah berita menyedihkan yang menguras air mata. Dan air mata yang paling banyak bercucuran tentu saja air mata-nya rakyat. Menanggapi hal tersebut, Ilhamsyah, Senin, 13/4/2020, melihat dampak pandemi di sektor ketenagakerjaan semakin hari semakin membahayakan.

“2,8 juta pekerja di-PHK dan dirumahkan. Apa yang Anda bisa lihat dibalik statistik ini? Jutaan orang dilempar ke parit kemiskinan yang anyir, dipecahkan periuk nasinya, dirobek seragam sekolah anak-anaknya. 2,8 juta itu bukan angka bisu. Disana ada kepedihan. Ada pelanggaran hak-hak pekerja. Pada angka 2,8 juta itu pula kita bisa menyimak kenyataan, bahwa selain menyajikan data, Kemenaker tidak tampak efektif bekerja.”

Seperti diketahui, akhir bulan lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, menerbitkan Surat Edaran (SE). Salah satu isi SE memuat perpanjangan masa Work From Home/Kerja Dari Rumah untuk PNS. Konsekuensi dari SE tersebut membuat Kementerian Ketenagakerjaan tidak bisa bekerja maksimum, karena aparatusnya tidak berada di tempat. Dinas Ketenagakerjaan di daerah-daerah juga menjalankan Kerja Dari Rumah.

“Saya bisa maklum bagi kementerian-kementerian lain, tapi tidak tepat untuk Kemenaker. Ini paradok. Masalah sedang menggunung, tapi mereka tidak bisa ditemui. Anda seperti sedang melihat kebakaran dimana-mana, tetapi diwaktu yang sama Anda mendapati seluruh mobil pemadam kebakaran mesinnya tak mau menyala.”

Pemberlakuan Work From Home untuk pencegahan penyebaran Corona tentu bisa dibenarkan. Namun meneliti sektor mana saja yang mesti tetap harus bekerja maksimum di tengah situasi pelik, juga wajib dinilai secara tepat.

“Pendekatan pemerintah tidak sinkron. Ada gap besar antara laju masalah dengan kinerja lembaga yang harusnya bekerja untuk menangani masalah. Pemerintah harusnya melakukan evaluasi serius pemberlakuan Work From Home di Kemenaker. Ada kedaruratan ketenagakerjaan yang memaksa.”

Pandemi Covid-19 dengan cepat mendorong masalah serius di sektor kesehatan publik dan ketenagakerjaan. Di sektor kesehatan pemerintah masih tampak kesukaran mengatasi ragam hambatan. Sengkarut sektor kesehatan terus terekpos tiap hari di laman pemberitaan dan unggahan-unggahan media sosial. Tidak sedikit korban berjatuhan, termaksud korban meninggal dari kalangan tenaga medis. Sementara di sektor ketenagakerjaan kondisi sama pelik dan runyam terus menggelinding, makin hari makin kencang.

“Ada banyak kritik untuk penanganan masalah pandemi. Tapi setidaknya sektor kesehatan masih bergerak. Bekerja keras untuk itu. Hormat buat tenaga medis yang ada di garda terdepan pemberantasan Covid-19.”

Sembari mengurus berkas-berkas rapat, bapak satu orang anak bernama Fajar Merah ini menambahkan,

“Bagaimana dengan krisis yang mengangga di sektor ketenagakerjaan? Buruh disunat upahnya atau tak digaji sama sekali. Yang lain di-PHK tanpa pesangon. Ada fungsi pengawasan yang tidak berjalan. Pelanggaran ketenagakerjaan tidak bisa diadukan dengan proses yang bisa ditagih. Anda tidak bisa menjawabnya dengan Kartu Pra Kerja. Ini soal pemenuhan hak yang diatur oleh Republik ini melalui Undang-Undang-nya.  Kemenaker harus ada di lapangan. Kerja Dari Rumah untuk Kemenaker tidaklah relevan. Segera akhiri!”

Tindakan PHK dan dirumahkan tanpa pemenuhan hak yang sedang meluas, juga dialami anggota-anggota KPBI. PT. Amos Indah Indonesia yang berlokasi di KBN Cakung, Jakarta, melakukan stop produksi. Sebanyak 800 buruh PT. Amos lantas dirumahkan tanpa dibayar. Di Semarang, buruh-buruh PT. Jaykay File Indonesia mengalami PHK. Sejumlah 368 orang diputus hubungan kerjanya tanpa memperoleh pesangon. Di Jakarta Barat, buruh-buruh PT. Elite dirumahkan hanya dengan menerima separuh upah.

Peristiwa-peristiwa seperti ini juga terjadi di banyak daerah. Posko online KPBI menerima ratusan pengaduan terkait masalah serupa. Sekjen KPBI, Damar Panca, membeberkan temuan posko online,

“Umumnya mereka yang mengalami PHK sewenang-wenang atau dirumahkan tanpa kompensasi yaitu buruh-buruh yang tidak memiliki serikat buruh. Sektor pariwisata merupakan salah satu yang paling rentan. Kami menghimpun data itu selama beberapa waktu belakangan.”

Kalender 2020 baru saja melewati 100 hari. Barisan korban pandemi terus berjatuhan. Secara global, jumlah orang yang meninggal akibat virus telah menembus angka diatas 100.000 jiwa. Sementara sepuluh hari lalu, pengangguran di Spanyol naik menjadi 3,5 juta orang digenjot pandemi. Angka tersebut merupakan peningkatan terbesar dalam sejarah. Di Prancis desimal pengangguran melompat hingga 4 juta warga dan berpotensi terus merangkak ke atas.

Berbagai lini kehidupan sedang bergoyang keras diterjang virus bernama Covid-19. Lapisan-lapisan terbawah masyarakat diombang-ambingkan keadaan. Pertanyaan masih validkah kapitalisme sebagai sebuah sistem yang sanggup memberi jaminan hidup umat manusia, kini makin kencang dipertanyakan. Kesimpulan-kesimpulan paling menentukan harus segera dibuat oleh kelas pekerja dan rakyat tertindas di seluruh negeri.

“Kelas pekerja dan rakyat dunia akan belajar dari peristiwa pandemi. Memang cara belajar yang menyakitkan. Kapitalisme adalah model ekonomi yang telah aus”, ujar Ilhamsyah pelan.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.