Pernyataan Sikap Departemen Perempuan KPBI pada peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November 2021.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Diawali serangkaian kampanye pada 25 November hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Dalam sejarahnya dipilihnya 25 November sebagai awal kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah untuk memberi penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara yaitu Patria, Minerva dan Maria Teresa pada 1960. Mirabal bersaudara adalah aktivis politik yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika saat itu. Patria, Minerva dan Maria Teresa berkali-kali mendapat tekanan dan penganiayaan. Kemudian mereka dibunuh secara keji oleh “kaki tangan” diktator Republik Dominika. Untuk memperingati serta menghormati perjuangan Mirabal bersaudara, dalam Kongres Perempuan Amerika Latin pertama pada 1981, 25 November dideklarasikan sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi catatan penting untuk terus mendorong perubahan-perubahan di berbagai negara memperkuat perlindungannya terhadap perempuan. Data WHO tahun 2018 menyatakan bahwa 1 dari 3 perempuan berusia 15 tahun ke atas di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim, bukan pasangan atau keduanya, setidaknya sekali dalam seumur hidup mereka. Di Indonesia, berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2020 mencapai 299.911.
Bagi buruh, kekerasan seksual juga banyak dialami di tempat kerja. Mulai dari pelecehan seksual secara verbal, perlakuan diskiriminasi hingga kekerasan fisik bahkan permintaan seksual. Kekerasan seksual ini seringkali dilakukan oleh sesama rekan kerja dan tak sedikit yang melibatkan pimpinan perusahaan. Relasi kuasa yang timpang membuat korban tak mampu melawan itu. Di sisi lain, meletakkan tindakan tersebut sebagai “kewajaran” menjadikan kekerasan seksual semakin subur dan tidak segera terselesaikan.
Kondisi semakin diperburuk dengan diundangkannya UU Cipta Kerja, Oktober 2020 lalu. Buruh perempuan semakin mengalami kondisi yang pelik. Mereka terpaksa juga harus menghadapi situasi kerja yang semakin buruk. Upah murah, status kerja tidak manusiawi, juga hak lain (cuti haid, cuti melahirkan, ruang aman untuk menyusui) yang terancam hilang akibat penerapan politik fleksibilitas tenaga kerja.
Di tengah kritisnya situasi ini bagi buruh perempuan, perlindungan negara terhadap perempuan juga sangat minim. Sampai saat ini saja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Ratifikasi Konvensi ILO 190 tak kunjung disahkan.
Lingkungan yang aman tanpa kekerasan dan diskriminasi, serta menyejahterakan adalah hak setiap manusia. Dalam rangka menyatakan perlawanan atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, maka konsolidasi penyatuan gagasan dan penyatuan gerakan adalah kunci perubahan untuk dunia yang lebih baik.
Mari rapatkan barisan, lantangkan suara perlawanan untuk menuntut:
- Cabut UU Cipta Kerja dan PP 36/2021
- Terapkan upah layak dan setara untuk buruh perempuan
- Sahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) 4. Ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi di Dunia Kerja 5. Sahkan RUU PRT