Internasional

Karoshi: Kemakmuran Ekonomi Bertumbalkan Nyawa

Banyak Terjadi Kerja Berlebih di Asia. Sumber-ILO

Jam kerja yang panjang dan tekanan untuk sukses memakan korban nyawa pekerja di seluruh Asia.

TOKYO/GUANGZHOU—“Selamat tinggal, ibuku tersayang. Hidup, pekerjaan, dan segalanya sungguh menyakitkan.”

Setelah mengirimkan pesan ini kepada ibunya, Matsuri Takahashi melompat dari asrama perusahaannya di Tokyo tanggal 25 Desember 2015. Saat itu Takahashi adalah seorang pegawai di Dentsu, sebuah agensi periklanan terbesar di Jepang. Kematiannya secara resmi diakui sebagai kasus karoshi—kematian akibat kerja berlebihan. Undang-undang karoshi Jepang melingkupi baik tindakan bunuh diri maupun kematian akibat penyakit yang disebabkan kerja berlebihan.

Meskipun Dentsu telah memiliki perjanjian kerja bersama yang membatasi waktu lembur sebanyak 70 jam per bulan, Takahashi yang berusia 24 tahun menjalani lembur lebih dari 100 jam.

Ia mencatat hari-hari menyakitkan itu di Twitter: “Mendapat kata-kata yang sangat kasar tentang dokumen yang kukerjakan seharian saat libur. Hati dan tubuhku benar-benar hancur,” tulisnya di salah satu cuitan.

Budaya kerja di Dentsu terkenal sangat menuntut. “Kami perusahaan yang mengutamakan klien,” seorang pegawai Dentsu berusia 50-an memberi tahu Nikkei Asian Review. Ia dan rekan kerjanya diharapkan melakukan apapun untuk memuaskan klien mereka. “Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di kantor atau stasiun televisi. Aku tidak punya banyak waktu untuk pulang ke rumah,” ujarnya, mengingat hari-hari pertamanya bekerja pada tahun 1980-an.

Budaya perusahaan yang ketat telah membantu Dentsu membangun jaringan yang sangat erat dengan para pengiklan, media, dan bahkan pemerintah. Perusahaan tersebut menawarkan gaji yang tergolong paling tinggi di Jepang dan menarik lulusan dari universitas ternama. Dengan sekitar 7.000 pegawai yang tersebar di beragam bisnisnya, Dentsu memiliki pengaruh yang sangat luas di Jepang.

Namun kedatangan media sosial dan periklanan internet telah mengubah bisnis periklanan secara drastis. Gaya pemasaran yang tradisional—saat seorang pramuniaga bertanggung jawab atas klien dari perusahaan tertentu dan memastikan mereka memperoleh kolom iklan di koran dan televisi—tidak lagi menjadi yang utama.

Berbeda dari periklanan konvensional, periklanan internet perlu diubah dan diperbarui secara rutin sesuai umpan-balik yang diterima. “Periklanan internet tidak menghasilkan banyak keuntungan, tetapi membutuhkan usaha yang besar dan keterampilan yang berbeda dari periklanan konvensional,” ujar seorang pegawai di agensi periklanan internet terkemuka.

Takahashi bekerjadi bagian periklanan internet Dentsu.

Bagaimanapun, periklanan televisi masih menjadi sumber pemasukan utama perusahaan, dengan penjualan non-konsolidasi mencapai 44% di tahun 2015. Itulah mengapa, “Logika dalam periklanan televisi adalah logika yang berlaku di Dentsu,” pegawai yang berusia 50-an tadi berkata. Para manajer yang tidak terlalu melek teknologi sering kali memberi perintah yang tidak jelas atau tidak tepat kepada bawahan mereka. Bagi pekerja yang berusaha memenuhi harapan dari bos mereka, kerja berlebihan sering kali menjadi satu-satunya pilihan.

Setelah ibunda Takahashi mengumumkan kabar bunuh diri putrinya di bulan Oktober, Dentsu melarang pekerjanya bekerja di kantor setelah pukul sepuluh malam. Namun mengubah budaya perusahaan yang telah tertanam kuat mustahil terjadi dalam semalam. “Bahkan jika kami diberitahu supaya tidak bekerja lembur, sulit bagi kami untuk mematuhinya, mempertimbangkan hubungan kami dengan klien,” pegawai Dentsu lainnya berkata.

Meskipun peristiwa bunuh diri Takahashi—dan pesan penuh deritanya di Twitter—telah membantu mengungkap kembali permasalahan ini, karoshi bukanlah isu baru di Jepang.

Menurut kementerian tenaga kerja Jepang, terdapat 96 kematian akibat penyakit yang secara resmi diakui berhubungan dengan kerja berlebihan dalam setahun hingga Maret 2016. Sepanjang 12 bulan tersebut, 93 peristiwa bunuh diri atau percobaan bunuh diri diakui sebagai akibat bekerja berlebihan. Fenomena ini menjadi sangat terkenal di lingkup internasional, sampai-sampai kata “karoshi” dicantumkan dalam kamus Bahasa Inggris.

Walaupun rinciannya berbeda-beda, negara-negara lain di Asia juga berkutat dengan isu yang sama. Berdasarkan data mutakhir dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), 32% pekerja di Korea Selatan bekerja 49 jam atau lebih per minggu. Perbandingan ini mencapai angka 30% di Hong Kong, 25% di Singapura, dan 21% di Jepang. Angka-angka ini berbeda jauh dengan negara-negara Barat: Amerika Serikat di angka 16%, dan Perancis 10%.

Matsuri Takahashi dan ibunya, Yuimi di Tembok Besar Cina, Mei 2013 (Sumber: The Mainichi)


Masalah yang Menyebar Luas

Tidak tersedia data dari ILO untuk Tiongkok, tapi kematian akibat kerja berlebihan telah dilaporkan juga di sana. Salah satu kasus tragis terjadi hanya berselang 12 hari sebelum Takahashi bunuh diri.

Pada tanggal 13 Desember 2015, Li Jumming, seorang pegawai di portal internet terbesar Tiongkok, Tencent Holdings, mendadak meninggal saat sedang berjalan-jalan dengan istrinya di sekitar rumah mereka. Li adalah pekerja teladan, mengepalai tim pengembangan di seksi game di perusahannya meski usianya baru 30-an.

Hanya seminggu sebelum ia meninggal, Li memasang pesan daring yang menggembirakan: “Aku akan segera jadi ayah, dan kuharap bayi kami tumbuh sehat.”

Dengan kapitalisasi pasar 50 kali lipat lebih besar dibandingkan 10 tahun lalu, Tencent dikenal sebagai perusahaan swasta dengan pertumbuhan tercepat di Tiongkok. Tingkat pertumbuhan perusahaan tersebut, dikenal luas sebagai pembuat aplikasi yang sangat populer WeChat, bahkan melampaui pertumbuhan Toyota Motor, pembuat mobil terbesar di dunia.

Li adalah sosok penting dalam pertumbuhan pesat Tencent. Yakin bahwa Li meninggal akibat kerja berlebihan, sejumlah rekan kerja yang dekat dengan Li membuat petisi untuk menuntut Tencent memperbaiki kondisi kerjanya. Perusahaan harus “sangat peduli pada kesehatan mental para pekerjanya dan mengizinkan mereka pulang kantor pukul delapan malam mulai tahun depan (2016),” demikian isi petisi tersebut.

Kerja berlebihan tampaknya merupakan masalah bersama yang serius, melihat banyaknya pekerja yang langsung menandatangani petisi tersebut sebelum diserahkan ke pihak manajemen atas perusahaan.

Kematian akibat kerja berlebihan juga terjadi di perusahaan-perusahaan terkemuka Tiongkok lainnya dan dengan frekuensi yang terus meningkat.

Media Tiongkok melaporkan bahwa seorang karyawati di Alibaba Group Holding mendadak meninggal pada April 2014, tepat sebelum ia dijadwalkan melahirkan. Wanita tersebut belum lama diangkat sebagai operator pengelola di situs perdagangan daring Tmall milik Alibaba, enam tahun setelah ia bergabung dengan perusahaan itu. Orang-orang di sekitarnya menyebut kematian tersebut akibat bekerja berlebihan.

Wanita tersebut dikabarkan sangat takut akan menerima evaluasi kinerja yang buruk dalam pertumbuhan pesat bisnis Tmall, sampai-sampai ia melewatkan pemeriksaan kesehatan wajib dan terus bekerja dari rumah meski sudah mengambil cuti hamil.

Pada malam sebelum ia meninggal, wanita tersebut bekerja sampai lewat tengah malam. Pukul empat pagi berikutnya, ia mengalami kejang dan dilarikan ke rumah sakit, tetapi meninggal akibat pendarahan di luar rahim.

Setiap tahun, sekitar 600.000 orang di Tiongkok dilaporkan meninggal akibat bekerja berlebihan, suatu statistik yang oleh banyak ahli dikaitkan dengan laju ekspansi ekonomi negara tersebut. Lu Shangbin, seorang profesor dari Wuhan University, berkata bahwa pekerja berada di bawah tekanan hebat dari perusahaan demi memaksimalkan profit.

Seorang manajer penjualan berusia 35 tahun di Beijing mengalami langsung tekanan tersebut. “Setiap pagi dimulai dengan rasa takut untuk pergi bekerja,” ujarnya, mengingat-ingat kembali hidupnya pada musim panas tahun sebelumnya. “Hari-hariku diakhiri dengan malam tanpa tidur dan penyesalan terus-menerus karena telah dipindahkan ke bagian penjualan.”

Kerja keras selama berbulan-bulan, tekanan hebat, dan ketiadaan bantuan cukup untuk menghancurkan ambisi dan kesehatannya. “Dua puluh hari tanpa tidur dan beberapa kali percobaan melompat dari lantai 20 apartemenku telah meyakinkanku untuk mencari bantuan dokter,” ujarnya.

Namun bagaimanapun, selain tuntutan perusahaan, Profesor Lu juga menunjuk faktor lainnya: hasrat dari si pekerja sendiri untuk mengambil keuntungan dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yang disebutnya “terlalu cepat.”

Lu menggambarkan situasi tersebut sangat berbahaya, melihat banyaknya orang yang mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan mereka demi kesuksesan di dunia yang kian kompetitif.

Undang-undang ketenagakerjaan Tiongkok menetapkan bahwa pekerja tidak boleh bekerja lebih dari delapan jam per hari dan 44 jam per minggu. Namun undang-undang tersebut tidak mengimbangi ekspansi ekonomi yang pesat. Undang-undang yang berhubungan dengan kontrak pegawai dan pekerjaan secara khusus rentan terhadap penafsiran yang ambigu. Sekitar 3.000 gugatan pekerja—termasuk aksi demonstrasi dan mogok kerja—terjadi setiap tahun, dan tren menunjukkan sedikit tanda-tanda akan mereda.

Mita Diran: Pekerja di Industri Periklanan di Indonesia yang tewas pada usia 27 tahun karena kelebihan kerja.

Berlebihan itu Tidak Baik

Kerja berlebihan adalah masalah yang tersebar di seluruh wilayah Asia, tetapi jam kerja yang panjang tidak membuat negara-negara di kawasan ini lebih produktif. Berdasarkan data dari Organization for Economic Cooperation and Development, pada tahun 2012 produk domestik bruto Jepang dan Korea Selatan per jam kerjanya berturut-turut adalah sebesar $40,10 dan $28,90. Angka ini jauh di bawah Norwegia sebesar $86,60, Amerika Serikat sebesar $64,10, dan Jerman sebesar $58,30.

Roland Berger, pendiri sebuah firma konsultan Jerman yang dinamai berdasarkan namanya, berkata bahwa produktivitas Jepang di sektor jasa relatif lemah dibandingkan produktivitas negara itu di sektor manufaktur. “Jepang pastinya harus lebih ambisius dalam menerapkan dan memperkenalkan teknologi digital ke para pekerja kerah putihnya,” ujarnya kepada Nikkei Asian Review saat kunjungannya ke Tokyo.

Jon Messenger, seorang pakar senior dalam bidang kondisi kerja di ILO, menyorot sebuah poin penting: “Secara umum, jam kerja yang lebih panjang berhubungan dengan produktivitas pekerja per jamnya yang lebih rendah, sedangkan jam kerja yang lebih pendek berhubungan dengan produktivitas yang lebih tinggi.”

Messenger merujuk hasil dari kajian empiris yang mencakup 18 industri manufaktur di Amerika Serikat. Kajian tersebut menemukan bahwa peningkatan jam lembur sebesar 10% berdampak pada penurunan produktivitas sebesar 2,4%. Ia menambahkan, sebuah ulasan ilmiah tentang literatur kesehatan dan keselamatan kerja (K3) terbaru, menunjukkan bahwa “jam kerja yang panjang berkaitan dengan peningkatan risiko kecelakaan dan penyakit, yang berarti peningkatan biaya bagi bisnis dan ekonomi secara keseluruhan.”

Messenger berkata, batasan legal terhadap kerja lembur yang dipadukan dengan “penegakan hukum yang efektif” diperlukan untuk mengurangi jam kerja. Penegakan yang dimaksud mencakup pendirian lembaga pengawas ketenagaakerjaan yang kuat serta pemberian sanksi finansial. Gaji yang memadai juga merupakan suatu keharusan. “Kalau tidak, pekerja harus bekerja lembur sebanyak mungkin hanya supaya kebutuhannya tercukupi,” ujarnya.

Beberapa orang bekerja lebih lama karena memang menyukai pekerjaan mereka, sedangkan yang lainnya termotivasi oleh uang atau kesempatan untuk meningkatkan karir. Namun bekerja lembur tanpa batas merupakan praktik yang tidak sehat, baik bagi si pekerja sendiri dan, dalam jangka panjang, bagi perekonomian.

 

KENTARO IWAMOTO dan YU NAKAMURA, Staf penulis Nikkei. Nobuyuki Okada, wakil editor Nikkei di Tokyo dan Seiya Tsuji, staf penulis di Tokyo, Mariko Tai di Beijing, dan Joyce Ho di Hong Kong berkontribusi dalam laporan ini.

Tulisan ini diterjemahkan dari http://asia.nikkei.com/Features/Overworked/Karoshi-Economic-prosperity-at-a-personal-cost oleh Priska Nurina dari Task Force Suicide Primary Prevention atau Gugus Tugas Pencegahan Bunuh Diri dari komunitas Into The Light. Terjemahan ini dipublikasikan untuk tujuan pendidikan dan pencegahan bunuh diri terutama pada pekerja kreatif.

 

Kontak bantuan

Bunuh diri bisa terjadi di saat seseorang mengalami depresi dan tak ada orang yang membantu. Jika Anda memiliki permasalahan yang sama, jangan menyerah dan memutuskan mengakhiri hidup. Anda tidak sendiri.

Layanan konseling bisa menjadi pilihan Anda untuk meringankan keresahan yang ada. Berikut daftar layanan konseling yang bisa Anda kontak:

Gerakan “Into The Light”

Facebook: IntoTheLightID
Twitter: @IntoTheLightID
Email: intothelight.email@gmail.com
Web: intothelightid.wordpress.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button